Jumlah pengunjung

Senyum Indah Mereka Adalah Anugerah

Rumah Belajar Pandawa, Rumah Bagi Mereka Yang Tidak Punya Rumah dan Tempat Belajar Bagi Mereka Yang Tak Sanggup Sekolah.

This is default featured slide 2 title

Rumah Belajar Pandawa, Rumah Bagi Mereka Yang Tidak Punya Rumah dan Tempat Belajar Bagi Mereka Yang Tak Sanggup Sekolah.

Mengabdi Pada Masyarakat

Rumah Belajar Pandawa, Rumah Bagi Mereka Yang Tidak Punya Rumah dan Tempat Belajar Bagi Mereka Yang Tak Sanggup Sekolah.

This is default featured slide 4 title

Rumah Belajar Pandawa, Rumah Bagi Mereka Yang Tidak Punya Rumah dan Tempat Belajar Bagi Mereka Yang Tak Sanggup Sekolah.

Mari Bergabung Bersama Kami

Rumah Belajar Pandawa, Rumah Bagi Mereka Yang Tidak Punya Rumah dan Tempat Belajar Bagi Mereka Yang Tak Sanggup Sekolah.

Selamat Datang di BLOG RUMAH BELAJAR PANDAWA

Rabu, 19 Oktober 2011

Feeding the Nation Through Life Library


The library is an important facility which should be owned by an educational institution starting from the basic level, intermediate level, level up through college must have the support facilities one of which is the library.

Not all people understand the importance of libraries, but library is very useful to support education and improve the quality and the quality of education, to attract sympathy and love to the library community we need to review the existence of the duties and functions of libraries, library services and service strategies, program development and innovation of the library itself as well as library facilities and infrastructure.

In an effort to build a community to love this library there are obstacles that hinder people to think more realistically about the existence of the duties and functions of the library. These obstacles can be overcome by the government and the librarian, because in principle to build a library that places a person's interest in and aptitude for lifelong learning process.

Many of the ease with which we can get by using the facilities and library services, library basically love is the right step for the intellectual life of the nation, not by reading we will be rich and prosper with science and information?


Particularly for schools at the elementary level or elementary school or madrasah MI library or to setinggkat this basis could be termed a reading park facilities should be provided. Since the age of children at primary level is the time pupils / students to begin learning to read from the familiar letters, the alphabet, then strung together into words then become suatau sentence.

So read the park is a facility that is needed to help the child learn to read on, and to foster interest in reading to children early on.

Reading is not just for those people who with thick glasses, smart people, people who perpendidikan, bookish person and so forth. But reading is for everyone, for all people, and for all ages.

Read the Community Garden is actually the same with the Library to the community, dirubahnya its name to Park Read diantaranaya Society is to change the image so that people do not feel afraid to go into this place and would take a book and read it.

Libraries that are exclusive only to those memorable people from middle to upper economic circles so that people from middle to lower economic circles that also requires science reluctant to come to the library

With the rapid development of technology, we must come natural to compensate. So is the library, but the library itself should also be able to adapt to the environment, where "he" does not have to apply the sophistication of the technology yet to be adjusted with konsumenya or pemustakanya. To what a library which is too sophisticated with all computer systems if the consumers are children who drop out of school children and street children of most of them are not familiar with computers.

Reading books for children are also to add insight and knowledge on meraka, because the child has a high sense of curiosity? reading books is one of the factors that are important for intellectual development or to increase knowledge in children.

With the park read in school children can take advantage of their rest time as well as possible to read books that are useful and educating school reading in the park. so that their free time is not wasted in vain. And children have the enthusiasm, motivation and high morale so glad to read in the school library.

Library related to the quality and the quality of education, the more complete and adequate library materials is the increasing knowledge and information, thus the quality and the quality of education is also increasing because of the success of a library is measured from the high and low ability of these libraries in carrying out its function as a center for independent learning activities as well as central information, research and recreation student, could we see a need for information and science to students at the time of the study, they need a variety of information and knowledge to support the research and the process of completing the final task.

If the library has the quality and usability in terms of library materials, the students will improve their academic achievement based on the general and scientific knowledge gained from research with a variety of sources from the library.

With increasing student academic achievement and the quality of education quality also improved, this will all have positive impact for the nation's intelligence.

With love library student, students, teachers / lecturers will increase knowledge and insight, this is the first step to trigger kecerdaan and success of the nation.

* Prabu Ali Airlangga Director Rumah Belajar Pandawa

Senin, 17 Oktober 2011

Impiyan Yang Nyata


Mengentaskan anak-anak miskin dari kebodohan. Mereka berjuang bersama teman-temanya untuk merangkul  anak jalanan (ANJAL) pengemis, pemulung, preman, pekerja sek komersial serta  pedagang asongan  agar mereka mau menitipkan putra-putrinya untuk belajar bersama di Rumah Belajar PANDAWA.
Itulah impian yang ingin diwujudkan oleh lima pemuda. Mereka adalah Mukhammad Makmuri, Mukhammad Ridwan, Abdullah Kafaby, Amar Munawar  serta M. Ali  Shodikin atau biasa dikenal Prabu Ali Airlanga. Selaku generasi muda mereka mempunyai suatu gagasan yakni mendirikan sebuah rumah belajar bagi anak-anak yang tidak mampu.
Mukhammad Ridwan mengatakan. ”Sistem pengajaran yang memuaskan akan menjadi senjata ampuh dalam mengembangkan rumah belajar tersebut.” Hal yang cukup menarik di sini adalah penggunaan modal dan sumber daya manusia yang terbatas (patungan uang pribadi, red). Namun, mampu memberikan pelayanan yang terbaik sebagai salah satu solusi. Maka dengan nama Rumah Belajar PANDAWA (Papan Pendidikan Kawula) yang diresmikan oleh Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si, lima pemuda tersebut dapat terwujud pada Rabu, 18 Mei 2011 di balai RT Desa Lumumba Dalam Gang Buntu RT I/ RW I Kelurahan Ngagel Kecamatan Wonokromo Surabaya.
Karena tekad yang kuat  untuk mengabdikan diri kepada masyarakat dan bangsanya melalui media pendidikan, maka tidak mustahil berdirinya lembaga pendidikan seperti Rumah Belajar PANDAWA adalah salah satu jalan untuk membuka beragam ruang-ruang sosial yang mengolaborasikan semua ragam yang ada.
”Untuk menjalin sebuah kebersamaan dan keanekaragaman perspektif kelompok-kelompok sosial, maka dengan rumah belajar ini mereka  bisa mendapatkan pendidikan yang setara dan berkualitas,” kata Ridwan selaku sekretaris PANDAWA.
Awal berdirinya PANDAWA, kami hanya bermodalkan rumah kontrakan yang dimiliki oleh salah satu warga. Kami memanfaatan rumah yang sengaja kami sewa, lokasi ruang tamu, balai RT yang berada bersebelahan dengan markas PANDAWA, musholah al-Mukhlisin dan taman terbuka di sebrang jembatan kali Jagir sebagai lokasi belajar. Ini bisa dibilang sangat strategis, karena terletak di perkampungan padat penduduk.
Radius tiga kilo meter dari markas PANDAWA, terdapat sekolah mulai dari tingkat TK, SD, SMP sampai dengan SMA. Di samping itu lokasi ini berdekatan dengan tempat anak jalanan untuk beroperasi. Dengan kapasitas tempat yang memiliki empat ruangan yang dimanfaatkan sebagai kelas, maka tiap kelas dapat menampung 10-15 siswa. ”Keseluruhan dapat menampung kurang lebih 50 siswa.” Tegas Ridwan.  Dengan fasilitas yang standar,  diharapkan dapat meminimalisir cost dalam variable cost. ”Kami tidak menyediakan fasilitas yang mewah. Tetapi kami menyediakan pengajaran yang berkualitas,” pesan orang nonor dua di PANDAWA.

TANAMKAN AKHLAK DI TEPI REL KERETA API


”Adek-adek sampean mau pulang atau terus di sini? Kalo mau cepat pulang ayo duduk yang rapi dan berdoa dahulu.” Teriak para pengajar kepada murid-muridnya di lokasi Balai Rukun Tetangga Desa Lumumba Dalam RT 01 RW 01 Gang Buntu Kelurahan Ngagel Kecamatan Wonokromo Surabaya.

Anak-anak usia 3-5 tahun yang masih tingkatan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) serta Taman Kanak-Kanak (TK) diasuh oleh lima pengajar yang cukup telaten seperti hanya  Aviania Nailul Iza, Virda, Sundari, Naila Rahmatika, Khotimah. ”Ini adalah pengalaman pertama saya mengajar anak kecil,” kata Naila Rahmatika.
Sedangkan untuk siswa SD-SMP, mereka dibimbing secara bergantian oleh sembilan belas relawan yang siap mengajar tanpa bayaran seperti halnya, Ni’mah, Pipit, Fani Wijayanti, Rizky, M. Ali Shodikin, Muhkhammad Mujahidin, Awan Suarga, Habibi, Abddullah Kafabi, Nisfu, Tri Bagus Wahyudi, Mawan, Ahmad Habibullah, Makmur.
Di rumah belajar PANDAWA ini, para pengajar mendedikasikan ilmunya. ”Saya sangat senang bisa bergabung di lembaga ini. Meski kami tidak dibayar, namun saat melihat murid-murid giat untuk belajar membuat kami ikhlas mengamalkan sedikit ilmu yang kami miliki,” ujar Habibi.
Para siswa di Rumah Belajar PANDAWA tumbuh dalam lingkungan sosial budaya yang minus di perkampungan di tepi rel kereta api, berdekatan dengan pasar tradisiolal dan stasiun Wonokromo, Surabaya. Banyak dari mereka yang kerap menyaksikan ayah ibunya serta saudaranya bahkan tetangganya bertengkar. Ancaman, umpatan, dan sumpah serapah pun sudah tak asing bagi mereka. ”Tidaklah heran jika anak-anak hafal nama-nama binatang (yang dijadikan umpatan, red) dan organ vital meskipun belum tentu mereka melihat bentuknya,” ungkap Khotimah pengajar pendidikan anak TK di PANDAWA.
Senada dengan Aviania Nailul Iza, ia mempunyai pemikiran tentang pola asuh anak usia dini. Di masa pertumbuhan anak-anak selalu aktif untuk bertanya tentang hal-hal yang belum mereka ketahui. Di samping itu, mereka adalah peniru segala sesuatu yang didengar maupun yang dilihatnya. Tambah Vina, penanggung jawab pendidikan anak PAUD dan TK di Rumah Belajar PANDAWA ”Mengasuh anak usia dini memang tidaklah mudah. Di masa pertumbuhan, mereka aktif untuk bertanya hal-hal yang belum mereka ketahui.”
Kadang mereka bercerita pada kami tentang apa yang mereka saksikan setiap harinya. Seperti halnya tetangganya yang sepat dikejar-kejar polisi lantaran kasus kriminalitas. Kondisi lingkunggan yang begitu dekat dengan tempat esek-esek (baca: prostitusi) di kawasan sebelah kali Jagir berdekatan dengan bendungan kali, ditambah dengan kebiasaan mabuk-mabukkan bahkan berjudi. “Kita sebagai guru pengajar cukup miris dengan cerita-cerita meraka. Untuk itu kita membekali para urut dengan tanamkan akhlak serta budi pekerti,” tegas Vina.

Apa itu PANDAWA (Papan Pendidikan Kawula)


PANDAWA (Papan Pendidikan Kawula) adalah sebuah lembaga yang tercipta dari rasa semangat serta kesadaran generasi muda. Mereka ingin mengabdikan diri kepada masyarakat dan bangsanya melalui media pendidikan. Pada tanggal 18 Mei 2011 Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si selaku dewan pembimbing PANDAWA, meresmikan lembaga ini. Pendiri PANDAWA ada lima pemuda mereka adalah Prabu Ali Airlangga , Mohamad Ridwan, Mukhamad Makmur, Abdullah Kafabih, Amar Munawar. Sedangkan jajaran dewan pembina dan bembimbing diantaranya Bpak Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si, Drs. Abd. Halim M.Ag. Dr. Fatmah, ST, MM. Bapak Dr. H, Sam'un. M.Ag, Ibu Siti Rumilah, M.Pd.
Terbentuknya lembaga seperti PANDAWA adalah salah satu jalan untuk membuka beragam ruang-ruang sosial. Dengan mengolaborasikan semua ragam yang ada untuk menjadi sebuah kebersamaan. Serta keanekaragaman perspektif kelompok-kelompok sosial. Untuk mendapatkan pendidikan yang setara dan berkualitas. Misi dari rumah belajar pandawa adalah Menjadi Partner Pendidikan Berkualitas Untuk Masyarakat
Untuk meminimalisir kondisi semacam itu, maka kami selaku mahasiswa, alumni  IAIN Sunan Ampel Surabaya. Kami berusaha memberikan Problem Solvingnya melalui kegiatan pendidikan kepada semua lapisan masyarakat, dalam rangka mensukseskan amanat Undang-undang dasar 1945. Untuk itu kami lebih fokus sebagai suatu lembaga yang menjadi patner belajar bagi anak-anak yang kurang mampu terutama untuk semua anak negri.
Selain dari pada itu, kami juga membuat suatu lembaga pengembangan keterampilan  jurnalistik yang fokus menyoroti kehidupan anak-anak jalanan, dunia pendidikan, sosial budaya masayarakat, pengembagan kreatifitas anak binakan, serta kajian-kajian ilmia.Untuk mewadai niatan tersebuat maka kami mendirikan lembaga Pers dengan nama PANDAWA Kalimasada. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat, para birokrat, beberapa donatur, tentang suara hati mereka yang selama ini kurang didengarkan.


Kita Butuh Belajar

Pembaca yang dirahmati Allah,
Pada edisi perdana ini patutnya kami memperkenalkan diri kepda para bembaca, agar kita bisa lebih dekata. Sesuai dengan namanaya, media PANDAWA Kalimasada, merupakan wadah menuangkan gagasan kreatifitas tentang kehidupan anak jalanan serta masyarakat miskin kota. Media ini menjadi tempat berdialog suara-suara hati masarakat marjinal. Namun  media PANDAWA Kalimasada berusaha memberikan sajian dengan gaya penulisan ‘feature’. Ketajaman analisa di berbagai disiplin ilmu jurnalis adalah pedoman kita. Maka media ini diharapkan mampu sebagai media satu-satunya yang ada di Jawa Timur.
Dengan gaya pemberitaan yang segar dan original denag durasi terbit satu bulan sekali, ditambah akurasi investigasi yang mendalam, mengantarkan media PANDAWA Kalimasada menjadi bagian yang dinanti-nanti oleh masarakat jawatimur. Karena kami yakin pangsa pasar media yang lain tidak akan menyoroti fenomena tersebut.
Pada edisi pertama ini kami menyajikan dua rubrik utama. Yakni rubrik jendelah pandawa dan juga lembar utama. Untuk rubrik jendela pandawa kami mengangat tema tentang proses pembelajaran di rumah belajar PANDAWA. Di lembaga ini berusaha menanamkan pendidikan akhlaq kepada semua murid-muridnya. Pola pendidikan pada anak, bukan saja supaya berhasil dengan nilai bagus, mendapat juara akan tetapi dibarengi dengan pola yang benar. Apa artinya tropy kejuaraan berjejer di ruang tamu kalau akhirnya tidak sukses hidup karena dia anak pandai tapi kuper (kurang pergaulan). Rata-rata mereka yang berhasil bukan yang bisa menulis halus dengan tata bahasa yang benar, tetapi yang berani berbicara. Mereka dibekli pendikan moral karena, kondisi lingkungan tempat belajar mengajar berada di lokasi yang minus.
Sedangkan untuk rubrik Lembar Utama, kami memberitakan semangat anak-anak pengamen jalana yang terus belajar meski ditenga kesibukan mereka mencari tambahan uang makan untuk keluraganya. Walaupu mereka tidak pernah mengeri tentan hadis yang disampaikan oleh rosululah “Janganlah kamu menutut ilmu untuk saling membanggakan diri di hadapan para ulama’, mendebat orang-orang bodoh, dan menyombongkan diri di depan majlis, karena siapa yang melakukannya hendaknya ia berhati-hati dengan api neraka” (HR. Ibnu Majah) Namun paranak-anak pengamen memahami tentang pentingnya pendidikan, karena kita butuh belajar.
Untuk lebih lengkapnya silakan para pembaca, untuk mengetahui lebih lanjut tentang sajian diatas. Dua menu utama yang kami sajikan, mudah-mudahan bisa menjadi penyemangatserta tambahan informasi untuk kita semua. …… selamat membaca

Semua anak ingin sekolah



Cuaca panas sedang mendera kota surabaya, dan dibawah cahaya matahari yang garang itu para manusia berjibaku dengan kesibukannya. Pemandangan berupa motor dan mobil melaju diatas aspal tampak begitu lumrah, lalu lalang mereka seolah mengabaikan pejalan kaki yang berjalan melawan debu dan teriknya matahari.
Diantara pejalan kaki itu terdapat sepasang pengamen kecil berjalan sayu sambil membawa kicrik kecil dari tutup botol yang dipaku pada sebatang kayu kecil. Mereka menghampiri satu persatu rumah di sepanjang jalan ketintang madya dengan kaki telanjang tanpa alas. Padahal aspal dan tanah yang ada dijalan itu tentu panas karena terpanggang matahari.
Pengamen bertubuh mungil itu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki umurnya kira-kira sembilan tahun sedang pengamen perempuan yang bertubuh lebih kecil itu umurnya kira-kira tujuh tahun.
Mengamen untuk sekolah
Ketika laskar kalimasada menemui mereka di daerah ketintang madya, siang telah sampai puncaknya. Angin yang panas juga ikut menyamarkan suara adzan dzuhur hingga terdengar sayup-sayup. Dan sesekali menggugurkan daun kering dari dahanya. Wajah dua pengamen cilik itu tampak kumuh dan kotor oleh debu yang dilayangkan oleh hempasan kendaraan yang lalu lalang.
namaku Imam dan ini adiku Nur” ungkap imam salah satu pengamen dari sepasang pengamen tersebut saat ditanya nama mereka. Anak lelaki berkulit kecoklatan dan agak gemuk tersebut menambahakan bahwa biasanya mereka berangkat pukul delapan pagi dan pulang pukul dua siang. Dan ketika ditanya apakah mereka masih sekolah, ternyata pengamen dua bersaudara itu juga masih duduk sekolah.
kami masih sekolah mas, aku (Nur red) kelas dua, terus mas imam kelas empat” terang nur adik dari imam yang tubuhnya lebih kecil dan kurus dibanding imam, sambil sesekali membenahkan rambutnya yang kemerahan karena terbakar matahari nur juga menjelaskan jika mereka sekolah di SDN Ngagel 2.
jadi biasanya kalau pas sekolah berangkatnya pukul dua siang sehabis sekolah dan pulangnya pukul tujuh malam” imam dengan semangat menjelaskan aktifitasnya. Karena hasil mengamen mereka digunakan untuk menambah biaya sekolah.
Selanjutnya sepasang pengamen cilik itu kemudian melanjutkan aktivitas mereka mengamen, kaki telanjang mereka juga masih lincah menapaki jalan yang panas, dengan topi yang sebenarnya kurang sedap dipandang itu mereka menghampiri satu persatu rumah dan pertokoan yang ada. Sesekali mereka menerima recehan oleh empunya rumah maupun pemilik toko, namun sering kali mereka dikecewakan karena mereka diacuhkan setelah lama suaranya menyanyikan lagu dengan suara ala kadarnya, atau mereka ditolak mentah-mentah dengan berbagai alasan.
ada yang ngomong dagangan belum laku, ndak punya receh atau banyak alasan lain” terangnya. Tapi itu tidak menyurutkan langkahnya untuk menjual suara karena masih banyak pintu yang diharapakan berkenan menyisihkan rezekinya. Atau mungkin mempunyai rasa iba terhadap mereka hingga sedikit recehan di berikannya.
Ingin sekolah lagi
Di hari kedua laskar kalimasada menemui Nur adik dari imam di taman PANDAWA, di jalan raya ngagel tepi kali jagir. Namun saat itu Nur tidak sedang mengamen. Di taman rindang dengan pohon-pohon besar dan beberapa jenis tumbuhan itu rupanya Nur sedang menunggu imam kakanya yang masih ngamen.
ngenteni mas imam ngamen” terang nur sambil bermain dengan sepeda mininya, dan di taman itu Nur tidak sendirian. Dia ditemani oleh seorang gadis kecil, gadis kecil itu adalah temannya. Namanya adalah…. Meskipun dia bukan pengamen, ternyata dia sudah tidak sekolah lagi tahun ajaran baru ini. Dia tidak sekolah lagi karena sudah kesekian kalinya mendapat surat peringatan.
Surat peringatan tersebut diberikan oleh pihak sekolah karena dia sering telat berangkat ke sekolah. Jarak yang jauh antara rumah dengan sekolah di SD……, tidak dimaklumi oleh pihak sekolah. Sehingga karena tekanan psikologis tersebut dia jadi enggan melanjutkan sekolah. Padahal keinginan untuk sekolahnya sangat tinggi. Karena tiap hari dia telah berusaha menempuh jarak yang cukup jauh untuk anak seumuran dia.
aku sering diseneni guru, Soale aku sering telat sekolah”
Memang jalan yang ditempuh gadis itu tidak sejauh oleh Lintang, salah satu tokoh dalam laskar pelangi yang menempuh jarak beberapa kilometer untuk berangkat sekolah. Namun kiranya motivasi para guru sangat penting guna meningkatkan semangat siswa untuk tetap giat belajar.
Ketika matahari mulai bergeser jauh dari istiwa’, imam akhirnya tiba dari ngamen. Seperti biasa imam datang dengan senyum kasnya. Kulitnya yang hitam juga tampak lusuh oleh debu jalanan.
nyari siapa mas?” sapa dia pada laskar kalimasada dan kemudian meraih sepeda yang dibawa adiknya. Dia juga menerangkan kalau hari ini nur tidak ikut ngamen karena masih sakit. Rupanya teriknya hari kemarin membuat kondisi kesehatan gadis cilik itu menurun. Tapi sebenarnya pagi itu nur ingin ikut ngamen, namun ditolak oleh imam karena mengkhawatirkan kondisi kesehatannya.
saya akan terus ngamen, supaya bisa terus sekolah”
Tambah imam sbelum akhirnya berlalu dengan sepeda mini sambil menggonceng adiknya. Ternyata semangat untuk belajar dan tetap sekolah anak kecil yang sudah biasa dengan kehidupan jalanan itu cukup tinggi. Sehingga masyarakat perlu tahu bahwa masih ada naka anak jalanan yang punya cita cita dan ingin mewujudkan melalui bangku sekolah. Hal ini perlu menjadi perhatian bersama antara masyarakat dan pemerintah.
* Prabu Ali Airlangga


Ajarkan Kejujuran Pada Anak


Masih ingat dengan seorang ibu rumah tangga biasa namun memiliki keberanian luar biasa membeberkan praktek kecurangan dalam ujian nasional yang terjadi di sekolah tempat anaknya menimba ilmu? Peristiwa yang sempat menghebohkan Indonesia beberapa waktu lalu ini praktis menjadi peristiwa langka di sebuah negeri yang masih banyak dihiasi praktek-praktek kebohongan ini.

Ya.. dialah Ibu Siami. Seorang ibu yang begitu getol mengajarkan kejujuran kepada anak-anaknya. Menurut istri Bpk. Widodo ini, sebagai orang tua jika menghendaki anaknya menjadi manusia yang berakhlak mulia maka hidup dengan prinsip kejujuran adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena orang tua merupakan figur yang menjadi teladan bagi anak-anaknya maka setiap perkataan, perbuatan, serta kebiasaan orang tua pasti akan selalu di amati dan ditiru oleh anak. Jadi jika menghendaki anak jujur, maka orang tua harus melakukannya terlebih dahulu.
Menanamkan kejujuran harus dimulai sejak kecil sebagai jalan untuk menjadikan anaknya sukses dunia akhirat. Seperti sabda Nabi Muhammad, “Berbuat jujurlah, sungguh kejujuran itu merupakan sarana untuk dapat masuk surga”. (H.R. Mutafaqun Alaih). Sehingga konsekwensi berat dari memegang prinsip ini misalnya dari pengalaman beliau yang hingga dikucilkan oleh orang-orang dekatnya dan diusir dari tempat tinggalnya, menjadi sesuatu yang yang harus dapat dijalani dengan ikhlas.
Kejujuran, kasih sayang, perhatian dan tanggung jawab itu selain beliau contohkan sendiri juga dilakukan dengan membekali anak-anak beliau dengan ilmu agama yang kuat. Sehingga meski putra putrinya tidak di titipkan di pondok pesantren akan tetapi pendidikan moral dan agama menjadi nomor satu bagi keluarga ini.
Kasih sayang dan perhatian orang tua memang tidak pernah luput untuk kedua anaknya. Misalnya demi menghadapi ujian akhir nasional, jauh-jauh hari Ibu Siami beserta suami telah mempersiapkan diri. Untuk mencapai target maksimal, Suami beliau yaitu Bpk. Widodo bahkan rela mengambil cuti kerja hanya untuk membimbing dan mengajari putranya.
Kondisi orang tuanya yang rela untuk cuti demi memberikan perhatian yang lebih pada anak-anaknya itu menjadikan sang anak lebih semangat belajar. Pada bulan-bulan mendekati ujian, mereka sekeluarga melakukan ikhtiar dengan puasa sunnah serta munajat pada sang khaliq. Dan Alifa’ yang masih kecilpun juga diajak mengikuti puasa walaupun ujian sedang berlangsung.
Dari ikhtiar berupa kerja keras sang anak, perhatian orang tua dan ikhtiar dengan do’a itu ternyata membuahkan hasil. Alifa’ menjadi anak yang diberi kemudahan Allah dalam belajarnya. Ia tergolong sebagai siswa yang cukup pandai di sekolahnya. Namun justru itulah yang menjadi ujian bagi keluarga Ibu Siami.
Karena kepandaiannya, saat ujian akhir nasional, Alifa’ justru diperintah oleh gurunya memberikan contekan kepada teman-temannya agar teman-temannya yang lain juga lulus dengan nilai yang bagus. Sehingga walaupun sebenarnya keberatan atas perintah gurunya, namun Alifa’ memenuhi perintah itu. Di akhir ujian Alifa’ di bayang-bayangi rasa takut dan penyesalan.
“Sepulang ujian, Alif bercerita kepada saya dan suami tentang kejadian itu. Saya sempat kecewa dan marah terhadap Alifa’ karena dia sudah tidak jujur, meskipun itu dilakukan demi memajukan prestasi sekolah. Namun saya menyadari ia hanya korban. Kekecewaan terbesar saya justru kepada oknum guru yang memaksa anak sekecil itu melakukan kecurangan demi ambisi yang tidak mendidik.” ujar Ibu Siami.
Kekhawatiran tentang masa depan akhlak sang anak mulai menghantui beliau sehingga tindakan harus segera diambil. “Perbuatan ini jelas tidak bisa dibiarkan begitu saja. Dengan perjuangan berat kami di keluarga mendidik anak tentang tanggung jawab dan membiasakan berbuat jujur, kok di sekolahnya malah dirusak dengan diajari berbuat curang.” ungkap beliau kepada Majalah NH dengan isak tangis penuh kekecewaan.
“Sebagai orang tua kita pasti menginginkan anak kita menjadi manusia yang berprestasi namun bukan berarti dengan mengajari mereka cara-cara yang curang,” tambahnya dengan linangan air mata yang terus mengalir.
Atas kerja keras dan ikhtiar seluruh keluarganya, akhirnya Alifa’ Achmad Maulana berhasil mendapatkan peringkat pertama di sekolahnya. Tawaran beasiswa untuk jenjang sekolah menengah pertama pun terus berdatangan meski tawaran tersebut tidak serta merta mereka ambil.
Meski bersedih karena berbagai peristiwa yang dialami oleh keluarga beliau, semua itu sedikit terobati dengan keberhasilan anaknya meraih prestasi Insya Allah dengan keridhaan Allah. Tidak dengan cara-cara yang justru akan menjerumuskan anaknya. “Hal itu yang membuat kami bangga,” jelasnya dengan sedikit berulas senyum.
Menutup perbincangan dengan Majalah NH beliau berpesan “Peristiwa contek masal pada saat ujian bisa terjadi pada siapa saja. Seandainya anak melanggar maka anak juga harus di hukum dengan hukuman yang mendidik. Karena itu semua demi masa depan dirinya.”
Ibu Siami memberi inspirasi pada kita, demi masa depan anak-anak kita, berikan dan bentengi mereka dengan akhlak yang baik, meski konsekwensi yang dihadapi tidak ringan. Karena itulah jalan mencapai keridhoan Allah.
* oleh Prabu Ali Airlangga

Minggu, 09 Oktober 2011

"DASAR ANAK BANDEL"

Hati-hati, lo, memberi label/cap negatif pada anak akan membentuk konsep diri yang salah. Pemberian label/cap yang positif semisal "pintar" dan "cantik" juga bisa berpengaruh negatif, lo.

"Kamu ini gimana, sih? Sudah dikasih tahu jangan gangguin adik tapi masih juga diganggu. Kamu ngerti enggak, sih, kalau Mama lagi repot? Dasar anak bandel!"

Sering, kan, mendengar sang ibu atau ayah berkata demikian kala marah pada buah hatinya. Dalam keadaan "lupa diri" akibat emosi yang meluap kerap terlontar kata-kata yang memberi label pada anak. Entah "anak bandel", "anak penakut", "anak cengeng", dan sebagainya.

Menurut ahli, pemberian label/cap atau juga disebut stigma akan memberi bekas dalam diri anak dan mempengaruhi pembentukan konsep dirinya. Karena bagi anak, label tersebut adalah suatu imej diri bahwa aku seperti itu. Jadi, lama-lama akan terbentuk dalam benaknya, "Oh, aku ini bandel, toh."

Apalagi, kata dra. S.Z. Enny Hanum, bila si pemberi label adalah orang yang mempunyai kedekatan emosi dengan anak semisal orang tua atau pengasuhnya, pengaruhnya akan sangat besar dan cepat buat anak. "Anak akan jadi ragu pada dirinya sendiri, Oh, jadi aku seperti itu. Orang tuaku sendiri mengatakan demikian, kok."

JADI NGOMPOL LAGI
Sekalipun di usia prasekolah anak belum memahami makna sebenarnya dari kata-kata label itu, namun ia bisa merasakan sesuatu yang tak nyaman dengan dilontarkannya label itu. "Ia seakan-akan tak diterima dengan adanya label itu, ada sesuatu yang ditolak," terang Enny.

Jadi, anak tak tahu apa itu label baginya. Ia hanya merasakan sebagai sesuatu yang tak mengenakkan, merasa tak nyaman. Namun bukan berarti ia akan diam saja. Ia akan melampiaskan perasaan tak nyaman itu dengan berbagai cara sebagai bentuk protes. Tapi bentuk protesnya berbeda dengan anak remaja yang kalau dibilang "nakal" malah sengaja dibikin nakal, "Ah, sekalian aja aku nakal karena aku sudah kadung dicap demikian." Melainkan dalam bentuk mengompol (padahal sebelumnya anak sudah tak mengompol), mimpi buruk, menangis, menggigit-gigit kuku, menolak mengerjakan sesuatu, dan sebagainya.

Penting diketahui, perilaku/reaksi demikian juga akan muncul bila anak menemukan suatu situasi yang hampir mirip dengan di rumah. Misalnya, ia diperlakukan tak adil atau tak dimengerti di luar, maka ia akan mengompol lagi, menggigit-gigit kuku lagi, mengambek lagi, dan sebagainya. Tak demikian halnya bila ia menemukan situasi dimana ia merasa dipahami, dimengerti, dan komunikasinya menyenangkan, maka perilaku protesnya tak akan keluar.

Nah, bila anak semakin sering protes dan orang tua pun jadi makin sering marah, tentunya label tersebut akan juga semakin sering dilontarkan. Kalau sudah begitu, lambat laun akhirnya anak percaya bahwa dirinya memang nakal, misalnya. Konsep dirinya jadi salah. Kita tentu tak ingin si Upik atau si Buyung memiliki konsep diri yang salah, bukan?

BERLAKUKAN ATURAN
Itulah mengapa, Enny tak setuju orang tua memberi label pada anak. Jikapun memberi label, "sebaiknya dijelaskan dalam hal apa ia nakal atau jeleknya karena bisa saja anak melakukan sesuatu dalam niatan yang lain," terangnya. Misalnya, ia hendak membuatkan minuman sirup untuk ibunya. Selama ini ia sering melihat pembantunya kalau membuat sirup dengan cara menuang botol sirup ke dalam gelas. Nah, ia pun menirunya tapi ia tak tahu berapa takarannya sehingga dituangnya sirup itu segelas penuh. Si ibu yang melihatnya langsung marah-marah dan mengatakannya nakal, main-main dengan sirup. Padahal, si anak, kan, tidak nakal; ia hanya tak tahu berapa takarannya. Tapi akibatnya, anak jadi tak merasa nyaman, "Aku mau bikin sirup buat Ibu, kok, dibilang nakal?"

Jadi, tandas Enny, orang tua harus menyebutkan apa kesalahan anak sehingga ia dikatakan nakal. "Kalau ia mengganggu adik, misalnya, jelaskan bahwa kamu mengganggu adik padahal waktunya adik tidur. Jadi, anak diberi tahu, nakalnya kamu itu karena mengganggu adik." Dengan demikian anak tahu kenapa dirinya dikatakan nakal, sehingga dapat mencegah terjadinya pembentukan konsep diri yang salah.

Selain itu, lanjut Enny, sebaiknya orang tua juga memberlakukan berbagai aturan di rumah. Bila aturan dilanggar, ada sangsinya; sebaliknya, bila dikerjakan, ada rewards. Tentu sebelumnya aturan tersebut sudah dibicarakan dengan anak sehingga ia memahaminya. Misalnya, sebelum tidur ada aturan harus gosok gigi. Nah, bila dikerjakan, berilah pujian. Tapi bila dilanggar, jangan buru-buru bilang, "Dasar kamu anak nakal, sukanya melanggar aturan," melainkan tanyakan dulu, "Kenapa kamu enggak gosok gigi?" Siapa tahu lantaran odolnya terlalu pedas buat anak atau mulutnya lagi sariawan.

Kemudian, sebelum memberi sangsi, orang tua juga harus memberitahukan letak kesalahannya. Misalnya, ia mengambil mainan adiknya. "Biasanya anak melakukannya karena spontanitas bermain. Nah, orang tua bisa memberitahukan, Kamu mengambil milik adikmu, itu enggak boleh. Kamu harus minta izin dulu. Kalau kamu terus melakukan perbuatan itu, nanti kamu jadi anak nakal." Jadi, anak diberi tahu perilaku apa yang menyimpang.

Anak usia prasekolah, tutur konsultan psikologi anak dan keluarga ini, sudah bisa mengerti asal diberi tahu dengan bahasanya. "Kalaupun tak mengerti, orang tua harus mengulang-ulang lagi. Bukankah proses mendidik tak bisa sekali jadi melainkan harus terus-menerus?"

LABEL POSITIF
Selain memberikan label negatif, tak jarang orang tua juga memberikan label positif semisal "anak pintar", "anak cantik", "anak manis", dan sebagainya. Dibanding label negatif, pemberian label positif akan berdampak positif pula, yaitu memberi sugesti atau memacu anak untuk berperilaku seperti apa yang disebutkan. Misalnya, label "anak pintar". "Bagi anak, apa yang dilontarkan itu seolah-olah harapan orang lain padanya, sehingga ia pun akan berusaha untuk jadi anak yang pintar," tutur Enny. Jadi, label positif semacam rewards buat anak, "Oh, ternyata aku anak pintar," sehingga motivasinya besar sekali untuk belajar dan menjadi pintar.

Tapi, jangan salah, lo, pemberian label positif tak selamanya akan berdampak positif pula. "Pemberian label positif juga bisa berdampak negatif. Antara lain, anak jadi kehilangan spontanitasnya karena ada dorongan untuk memenuhi harapan orang tua. Padahal, spontanitas inilah yang menjadi ciri anak seusianya." Misalnya, ia selalu dikatakan sebagai anak manis sehingga ia pun mencoba untuk memenuhi harapan tersebut. Dalam berbagai pertemuan, ia harus menahan diri agar berperilaku sebagai anak manis. Bila anak lain berlarian ke sana ke mari dengan bebas, misalnya, ia akan duduk manis bak putri kerajaan. "Hal itu dilakukannya karena ia ingin menyenangkan orang tuanya, memenuhi harapan orang tuanya sebagai anak manis".

Jangan lupa, ingat Enny, pada usia prasekolah konsep diri anak masih kabur. "Ia belum punya kesadaran, aku ini siapa? Konsep dirinya sedang dibentuk sehingga aku ini kekurangannya di mana tak diketahuinya." Oleh karena itu, bila terjadi hal demikian, saran Enny, orang tua harus segera memperbaikinya. "Terangkan pada anak bahwa ia keliru menangkap maksud orang tua." Katakan, misalnya, "Yang Bunda maksud manis itu bukan berperilaku seperti itu." Lalu jelaskan "manis"nya itu seperti apa dan bahwa ia masih punya hak untuk bermain, "Kalau dalam acara pernikahan, kamu memang boleh bersikap demikian karena itu adalah bagian dari tata krama. Tapi di luar pesta perkawinan, kamu tak harus selalu bersikap demikian. Kamu bebas berlarian dan bermain bersama teman-temanmu." Dengan demikian, anak tahu persis kapan ia harus bersikap manis dan sikap manis seperti apa yang dikehendaki orang tuanya.

Label positif juga akan berdampak negatif bila tak sesuai realitasnya. "Bila anak terus menerus ingin memenuhi harapan orang tuanya sementara kemampuannya tak ada, tentu bisa melelahkan dan membuatnya frustrasi," terang Enny. Memang, orang tua bermaksud baik dengan memberikan label positif walupun orang tua tahu tak sesuai realitasnya, yaitu demi mendorong agar anak jadi pintar atau rajin. "Tapi kalau orang tua memberikan label diluar ukurannya, anak jadi kurang kepercayaan dirinya. Misalnya, ia obesitas atau kegemukan tapi orang tuanya bilang ia anak cantik, langsing, dan sebagainya," lanjutnya. Konsep dirinya juga jadi salah, kan!

Jadi, Bu-Pak, hati-hati, ya, dalam memberikan label positif dan terlebih lagi label negatif.
Indah Mulatsih


JANGANLAH MENGHUKUM ANAK

Banyak orang tua cenderung menerapkan hukuman kala si anak nakal atau berbuat salah. Padahal, hukuman sangat merugikan anak. Nah, bagaimana sebaiknya?
Menurut penelitian, dalam sehari semalam anak mendapatkan 460 kali kritikan dari orang dewasa, termasuk di dalamnya hukuman. Sementaran pujian, cuma 70 kali dalam sehari semalam. Duh, betapa "malang"nya si kecil!
Tapi, kenapa, sih, orang tua menghukum anak? Ada dua alasan, seperti dipaparkan psikolog Ery Soekresno. Pertama, karena orang tua punya target atau standar tingkah laku untuk anaknya, "Namun ternyata standar itu tak dilakukan oleh anak." Kedua, ada tingkah laku tertentu yang ingin dihentikan oleh orang tua. "Mungkin tingkah laku itu baik, tapi karena berlebihan, jadi harus dihentikan."
Selain itu, lanjut Ery, orang tua juga sering menghukum anak karena tak punya alternatif lain untuk menghentikan suatu tingkah laku anak.
"SESUAI" KESALAHANNYA
Menurut Ery, hukuman sudah bisa diberikan sejak sedini mungkin, yakni saat anak mulai membangkang. "Misalnya, nggak mau mandi, nggak mau makan, dan sebagainya. Pokoknya, apa saja enggak! Nah, itu berarti ia sudah mulai membangkang."
Namun dalam memberi hukuman, Ery mengingatkan, haruslah disesuaikan dengan "kesalahan" si anak. Misalnya, anak asyik menonton VCD sampai lupa waktu. Nah, hukumannya adalah ia dilarang menonton lagi. "Tapi jangan langsung melarangnya nonton VCD selama 3 bulan, misalnya. Itu namanya sewenang-wenang. Cukup misalnya, kalau hari ini nonton terlalu lama maka besoknya ia tak boleh nonton lagi."
Kemudian, beri anak kesempatan. Misalnya, setelah dihukum sehari, esoknya ia diperbolehkan menonton VCD lagi namun dibatasi cuma menonton satu judul. "Kita lihat, apakah anak bisa menepati janji. Kalau ternyata enggak bisa, esoknya jangan izinkan si anak menonton lagi." Kalau besok ia bisa menepati janji, berilah bonus boleh menonton dua judul.
Yang harus diperhatikan, ujar Ery, saat memberi hukuman kita juga harus melihat diri sendiri. Maksudnya, tega apa enggak. "Kalau enggak tega, ya, jangan beri hukuman yang berat-berat. Nanti kita malah jadi enggak konsekuen." Akibatnya, kita bisa dijadikan bulan-bulanan oleh anak. Celaka, kan!
Sering terjadi, kita suka mengancam anak, "Awas, kalau Kakak nakal lagi, nanti Bunda pergi." Tapi sering pula ancaman tersebut tak kita lakukan. Nah, cara seperti ini, menurut Ery, akan membuat anak memandang rendah ancaman. "Ah, paling Bunda cuma ngomong doang," begitu pikir si anak. "Jangan salah, lo, kemampuan anak untuk mengobservasi gerak tubuh dan mimik orang tua sangat tajam," kata Ery yang tak setuju orang tua menerapkan ancaman.
Jadi, tandas Ery, kalau memang kita sedang marah, ya, marahlah beneran. Jangan kita marah tapi muka tersenyum. Sebaliknya, jangan pula kita bilang sayang tapi nyubit atau memukul. "Itu, kan, nggak sinkron. Orang tua harus belajar membedakan antara marah dan sayang."
Yang tak kalah penting, tambah Ery, jangan pernah memberi label jika ada tingkah laku anak yang tak sesuai. "Orang tua harus memisahkan tingkah laku dan pelakunya. Tapi yang terjadi, kadang orang tua tak sadar dan membenci pelakunya."
DISIPLIN
Sebenarnya Ery lebih setuju kita menerapkan konsekuensi ketimbang hukuman. Sebab, konsekuensi berkaitan dengan disiplin, tak demikian halnya dengan hukuman. "Orang tua sering menyamakan kedua hal ini, padahal sebenarnya berbeda sekali. Hukuman adalah kontrol dari luar, sedangkan disiplin adalah kontrol dari anaknya sendiri," terangnya.
Disiplin atau disciple dalam bahasa Latin berarti belajar. Jadi, disiplin memberikan pelajaran kepada anak tentang bagaimana bertingkah laku yang seharusnya. "Dalam disiplin ada aturan, komunikasi dan penguat positif. Kalau aturan dijalankan dengan baik, anak akan mendapat hadiah. Misalnya, dipuji, dipeluk dan sebagainya, yang bisa memperkuat tingkah laku baik si anak." Sebaliknya, bila anak tak menjalankan aturan, ia akan mendapat konsekuensi.
Dengan disiplin, kita juga sekaligus menyatakan harapan kita kepada anak. "Biasanya anak akan merasa nyaman, tenang, dan damai, karena ia tahu apa yang diharapkan oleh orang tuanya." Misalnya, "Bunda ingin Kakak membereskan mainan setelah bermain." Atau sebelum bertamu ke rumah orang, kita bisa bilang, "Kita akan bertamu di rumah orang. Kalau belum dipersilakan, Kakak enggak boleh mengambil makanannya dulu, ya."
Disiplin harus diterapkan sejak dini dengan memperkenalkan beberapa aturan. Misalnya, melarang anak menyentuh stop kontak. "Tapi untuk anak yang masih dini, sebaiknya ruanganlah yang didisiplinkan," ujar Ery. Maksudnya, kita harus menciptakan lingkungan yang aman buat anak. Misalnya, kalau kita ingin vas bunga tak dipecahkan oleh anak, maka pindahkan vas tersebut ke tempat yang lebih aman. "Daripada orang tua bolak-balik bilang jangan ke anak."
Lain halnya pada anak yang lebih besar, orang tua harus mulai memberi aturan. Misalnya, "Kakak tak boleh memukul Adik karena dipukul itu sakit. Konsekuensinya, kalau Kakak memukul Adik berarti Kakak harus bermain sendiri." Atau, anak melempar mainannya, katakan, "Tidak boleh melempar-lempar mainan, karena mainan bisa rusak. Kalau Kakak melempar lagi, akan Mama ambil mainan itu untuk disimpan."
Jadi, tandas Ery, kita harus selalu berada dalam posisi membantu anak untuk bertingkah laku baik. "Jangan langsung memberi hukuman. Tapi ajarkan sebab-akibatnya, bahwa kalau ia bertingkah laku tertentu maka konsekuensinya begini."
KONSEP DIRI NEGATIF
Hukuman, terang Ery, hanya memberi tahu anak tentang kesalahannya tapi tak memberi tahu bagaimana ia seharusnya bertingkah laku. "Anak hanya tahu bahwa ia salah, tapi setelah itu so what, lalu apa? Ia tak diajarkan harus bagaimana."
Apalagi jika anak sampai diberi hukuman fisik yang juga disertai kata-kata menyakitkan. "Itu bisa membuatnya sakit hati, merasa direndahkan dan tak diberi kesempatan untuk memperbaiki tingkah lakunya." Biasanya anak akan tumbuh menjadi pendendam lantaran ia tak pernah didengar dan dihargai. "Mereka juga cenderung tak bisa menyelesaikan masalah dengan baik tapi dengan hukuman juga."
Yang lebih parah, hukuman dapat merusak konsep diri anak. "Anak jadi memiliki konsep diri negatif sehingga membuatnya tak percaya diri. Bawaannya takut melulu, enggak berani tampil, takut salah, dan sebagainya. Ia merasa bahwa yang ia miliki adalah kejelekan. Ia tak bisa menemukan aspek positif dari dirinya," papar Ery.
Ery mengingatkan, usia 3 sampai sekitar 6 tahun merupakan usia pembentukan (formative years) dan biasa disebut sebagai masa keemasan (golden years) seorang anak. "Masa ini tak mungkin terulang," tukasnya. Nah, bila di masa ini anak sering dihukum berarti ia banyak dilarang. Otomatis, kebutuhan anak untuk menjelajah, berinisiatif dan memupuk rasa ingin tahu menjadi terhambat. "Anak jadi tak punya inisiatif dan tak punya pendirian."
Dampak lainnya, anak menjadi conform, selalu berpendapat sama dengan orang lain. "Ia takut berbeda dengan orang lain. Karena kalau berbeda, ia takut diomeli." Disamping, potensi anak tak terealisir. "Anak jadi tak kreatif. Ia akan takut mencoba karena sudah penuh dengan ancaman."
POPULER DI KALANGAN TEMAN
Lain halnya dengan disiplin, anak akan tahu apa konsekuensi dari tingkah lakunya. "Sehingga anak akan selalu memandang bahwa berbuat baik itu menyenangkan dan berbuat tak baik itu tak menyenangkan," bilang Ery.
Merujuk data penelitian, orang tua yang banyak melatih anak dengan batasan-batasan dan konsekuensi, biasanya akan memiliki anak yang lebih populer di kalangan teman-temannya. "Karena mereka tahu apa yang harus mereka kerjakan, kontrol dirinya bagus, tak mudah diombang-ambingkan orang."
Anak-anak yang demikian, lanjut Ery, memiliki prinsip dan biasanya kelak menjadi pemimpin. "Mereka tahu bahwa mereka punya kelebihan tapi juga punya kekurangan. Berbeda dengan anak-anak yang sering dihukum, tahunya cuma dirinya jelek saja."
Akhirnya Ery menyarankan kita agar mencoba untuk lebih sabar dan lembut dalam menghadapi anak. "Ini memang susah. Tapi ingatlah, kesabaran kita akan berbuah bahwa anak kita juga akan menjadi orang yang sabar."
Anak adalah "potret" orang tua. Iya, kan!

Strategi Menanamkan Nilai Agama dalam Pendidikan

Pergeseran posisi manusia sebagai bagian dari alam menjadi penguasa alam akhirnya membawa bencana. Banjir bandang dan tanah longsor menghancurkan beberapa desa dan kecamatan di Kabupaten Jember, menewaskan lebih dari 60 orang, meluluhlantakkan segala harta benda, serta menghancurkan perkebunan yang selama ini diyakini sebagai penyebab kerusakan alam karena adanya alih fungsi hutan. Awal Tahun 2006 ini bencana atau musibah yang menimpa kian bertambah besar dan merata. Dipastikan setiap kali pergantian musim selalu diiringi musibah baru.

Datangnya musim hujan disertai berbagai bencana. Antara lain banjir, tanah longsor, dan berbagai penyakit. Ribuan rumah di Jawa Timur tergenang di Blitar, Situbondo, Malang, Banyuwangi, Pasuruan, dan hampir diseluruh kabupaten di Jawa Timur. Wajah seperti inipun kemudian tampak di Jawa Barat, Nangroe Aceh Darussalam (NAD), NTB (Lombok Timur dan Sumbawa), NTT, dan berbagai daerah lain. Ribuan orang harus kehilangan rumah, harta benda, bahkan sanak saudara. Ribuan anak pun tidak bisa sekolah karena sekolah tergenang air, roboh akibat banjir, maupun buku-buku basah. Jutaan hektar lahan pertanian yang menjadi sumber pencaharian masyrakat rusak, panen terancam gagal dan ternak mati.

Perspektif agama

Dari realita di atas sangat wajar bila manusia selalu mendapat bencana, seperti banjir, tanah longsor, kebakaran, gunung meletus, kekeringan, dan lain-lain, mengingat manusia -yang katanya makhluk beragama-sama sekali tidak pernah menghargai, menghormati, apalagi mensyukuri lingkungan yang telah diberikan Tuhan. Dalam perspektif agama, musibah atau bencana di negeri ini merupakan warning dan atau cobaan yang diberikan Tuhan pada hamba-Nya yang berbuat salah, yang senantiasa melakukan kerusakan-kerusakan di bumi.

Al-Qur'an sebagai sumber moral manusia dengan tegas telah menjelaskan posisi manusia-ekologi. Allah SWT menasbihkan manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi (khalifatulah fil ardi) (Q.S. Albaqarah: 30) yang berkewajiban memakmurkan dan membudidayakannya (Q.S. Hud: 61), sekaligus melestarikan dan menjaga keseimbangan (equilibrium) lingkungan" (Q.S. Arrahman: 6-9). Agar peran mulia kekhalifahan bisa berfungsi optimal, dapat mencapai dimensi kualitatifnya yang tinggi, maka manusia (kita) niscaya dengan ikhlas pada saat yang bersamaan harus melibatkan dimensi kesediaan diri untuk menegakkan kebaktian/ibadah ('abdullah). Di antaranya dengan memperlakukan lingkungan dengan penuh tanggung jawab. Karena dalam pandangan Ilahi, alam memiliki hak yang sama dengan manusia (Q.S. Al-Hijr: 86).

Konsep ekologi modern menunjukkan ayat-ayat di atas adalah dasar dari proses regulasi alam bagi makhluk hidup. Terdapat pola hubungan kemanfaatan bagi hubungan timbal balik yaitu komponen biotic dan abiotik. Hubungan tanah (bumi), udara (langit), air tumbuhan dan segala yang hidup. Sangat jelas, sekali hak alam ini kita abaikan dan atau malah kita perlakukan dengan kebuasan tak terkendali demi memanjakan hasrat primitif, sudah menjadi sunatullah, pada ambang batas yang sudah tidak bisa ditolerir lagi alam pun akan melakukan "perlawanan".

Secara khusus dalam syariat Kristen terdapat pola religius relasi manusia dengan alam semesta. Gadium et Spes bicara secara jelas tentang hubungan manusia dengan alam, semua punya moral (Rm 8:21). Serta semuanya adalah milik manusia, tapi manusia milik Kristus dan Kristus adalah milik ALLAH (1 Kor 3:23. selanjutnya manusia dapat mengembangkan anugerah jasmani rohani, menakluikkan alam semesta untuk seluruh umat manuisa (Gaudium et spes). Kristen menganjurkan dalam hal ini bahwa pembangunan lingkungan harus bertujuan mencapai mutu hidup optimum bagi masyarakat.

Agama Hindu pun mengajarkan bahwa lingkungan memegang peranan sangat penting tubuh manusia. Getaran-getaran dan gaya tarik lingkungan untuk mnedapatkan hidup yang lebih nikmat. Konteks ini memberi petunjuk dan pedoman bahwa Tuhan pencipta alam semesta menyuruh untuk memanfaatkn lingkungan hidup dan kualitasnya. Dalam agama Buddha ajaran melestarikan berasal dari pola kedisiplinan yang diterapkan oleh 227 kedisiplinan buddhis dalam "227 patimokkha sikhapada". Secara praktis (Legowo E,1997), kebajikan pada "Dasa Paramitta" menjadi modal ketaatan umat untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup yaitu dana parramita, sila paramitta, nkkhamma paramitta, panna paramitta, viriya paramitta, khanti paramitta, sacca paramitta, adithana paramitta, metta paramitta dan upekkha paramita

Internalisasi nilai

Dalam perkembangannya telah muncul berbagai gagasan menangani ketidakseimbangan lingkungan untuk perbaikan kualitas hidup yang ramah lingkungan. Pendidikan lingkungan menjadi salah satu alternative yang rasional dan diharapkan dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 1996 yang kemudian direvisi pada bulan Juni 2005. Harapan ini sangat relevan mengingat Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebagai bentuk aplikasi dari Undang-undang No. 20 tahun 2003 mempunyai orientasi yang lebih luas, dimana kompetensi bukan hanya ada dalam tatanan pengetahuan akan tetapi sebuah kompetensi harus tergambar dalam pola perilaku.

Jika dipandang dari segi lingkungan maka kompetensi yang dimiliki oleh siswa setidaknya merupakan upaya sadar seseorang yang dilakukan untuk menerima pengetahuan dan mengubah sikapnya tentang kearifan lingkungan menjadi lebih baik. Cara pandang agama-agama dan cara pandang kearifan local tentang lingkungan hidup akan menjadi pondasi utama dari penerapan kompetensi tersebut. Dengan kata lain nili-nilai agama akan menuntun pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang terepleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak tersebut.

Dua dari lima agenda membangun keadaban ekologis yang ditawarkan oleh Zainal Alyy Musthofa (Dumas, 20/01/06) dalam artikelnya yang berjudul "Menggagas Teologi Keadaban Ekologis" menarik untuk kita dicermati. Dua agenda tersebut adalah gerakan ecoreligism atau paham penyelarasan nilai agama untuk penyelesaian masalah lingkungan dan penggalakan gerakan pendidikan lingkungan di sekolah. Kedua alternative ini sangat wajar untuk dielaborasi mengingat agama adalah tuntunan hidup yang mutlak sementara pendidikan adalah wahana formal penanaman nilai secara dini.

Pendekatan seperti ini merupaskan sumber baru dari sebuah khasanah lama pendidikan, tradisi kearifan local dan keagamaan Indonesia. Oleh karena itu upaya menggali pendekatan ini patut mendapat perhatian dengan kata lain bahwa internalisasi nilai-nilai keagamaan sangat mutlak diarusutamakan. Titik cerah kearah tersebut sangat diharapkan apalagi dunia konservasi memerlukan ahli multidisiplin untuk menyakinkan masyarakat bahwa melindungi alam bukan sekedar memberikan proteksi, tapi ada unsur ilmu pengetahuan dan relegius yang bisa digali didalamnya dan ada pula unsur mamfaat yang bisa diambil untuk kesejahteraan manusia baik secara umum maupun dalam bentuk ibadah.

* Husamah Redaksi Pelaksana Majalah "Spora"
Jurusan Pendidikan Biologi-FKIP
dan Peneliti lingkungan pada Tim Ekspedisi Biokonservasi (TEB) Universitas Muhammadiyah Malang

Alamat:
Wisma Galapagos
Jl. Tirto Utomo IIIB/2B Malang 65151
HP:085649161485 Telp.(0341) 531298

Mendidik Anak dengan Kasih Sayang


Anak adalah anugerah dan titipan dari yang Maha Kuasa kepada kita. Sebagai titipan kita harus bisa menjaga dan memeliharanya sebaik mungkin. Karena suatu saat DIA akan mengambil kembali dari kita. Tentu saja kita harus bertanggung jawab titipan itu baik-baik saja dan tidak rusak sedikitpun.
Sangat tidak mudah menjaga dan memelihara titipan. Itu adalah tanggung jawab besar kita selaku orangtua, Setiap kita selalu inginkan yang terbaik untuk buah hati. Melakukan apapun demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Agar dia bisa tumbuh besar menjadi manusia yang benar dan berguna. Itu adalah harapan terbesar dalam diri para orangtua.
Seluruh kasih kita tumpahkan pada anak-anak. Mendidiknya sedari ia masih bayi sampai ia tumbuh dewasa. Didikan itu tentu saja bermakna sangat luas, karena memiliki banyak aspek, banyak hal yang harus diperkenalkan dan diketahui anak. Misalnya mendidik akidahnya, perilaku dan akhlaknya sesuai norma yang berlaku.
Terkadang para orang tua salah kaprah memaknai kebahagiaan anak. Demi membahagiakan anak-anak seringkali kita menjadikan materi sebagai ukuran untuk menyenangkan mereka. Dan kita bahkan membesarkan mereka dengan materi yang berlebihan.
Orang tua punya alasan sendiri-sendiri saat mereka memilih membesarkan anak dengan materi berlebih. Bisa saja karena kehidupan mereka yang sangat berkecukupan, dan anak pantas menikmatinya dan mendapatkan semua yang diinginkannya. Atau karena pengalaman masa lalu. Kehidupan orang tua yang tidak beruntung secara materi saat ia masih kecil, memberi pengaruh kepadanya untuk mendidik anak-anak.
Ketidak keberuntungan orang tua secara materi di masa kecil itu memjadi pemicu, ada yang mampu mengajarkan bahwa untuk mendapatkan sesuatu itu kita perlu usaha dulu. Dan tidak sedikit yang berpikir sebaliknya. Mereka merasa ketidak beruntungannya dulu tidak boleh dirasakan anak-anak mereka saat ini. Tetapi mereka para orang tua melakukan hal yang salah. Anak-anak dimanja degan cara berlebihan.
Pernahkah anda mendengar para para orang tua berkata “belilah nak atau ambilah nak! Dulu saat ibu/ayah seusiamu kami tidak mendapatka ini”. Atau “Apapun akan papa belikan untukmu nak” Keadaan kita di masa lalu membuat kita termotivasi untuk bekerja sekeras mungkin untuk memenuhi kebutuhan anak-anak. Hingga kadang kita lupa cara kita dalam memenuhi kebutuhan mereka tidak lagi mendidik.
Akibat dari mendidik seperti ini tentu saja akan tidak baik bagi anak-anak. Mereka akan menjadi manja dan terkadang memanfaatkan orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan mereka yang bahkan sudah sampai kelewat batas.
Banyak kasus seperti ini terjadi di sekitar kita, memenuhi kebutuhan anak dengan materi berlebihan merupakan cara terbaik menurut mereka untuk membesarkan anak-anaknya. Hingga lupa pada akibat setelah anak itu besar dan dewasa. Mereka tidak lagi menjadi anak yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Manja dan merasa telah tercukupi dan menjadikan dia lemah mudah menyerah pada keadaan.
Saat anak-anak telah dewasa dengan sifat yang seperti di atas tentu bagi orang tua tidak mudah lagi untuk merubahnya. Maka penyesalan akan muncul seketika. Banyak saya lihat orang tua yang stress menghadapi ulah anak yang seperti ini. Sudah sangat terlambat untuk menyadarinya.
Karena itu, sebelum semuanya menjadi penyesalan. Alangkah baiknya kita kembali mengoreksi cara kita membesarkan anak-anak. Yang paling mereka butuhkan dalam hidup mereka adalah kasih sayang, dan didikan yang benar. Menyanyanginya dengan materi berlimpah tanpa mengajarkan padanya cara bertanggung jawab atas apa yang didapatnya dengan mudah. Akan menjadikan dia pribadi yang rapuh.
Mungkin kita harus belajar dari cara yang dilakukan para Nabi dalam mendidik anak-anak mereka. Nabi Muhammad yang mendidik dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Nabi Ya’qup yang selalu mendidik untuk membangun interaksi positif dalam keluarganya. Nabi Nuh yang selalu menegakkan etika moral imani untuk anaknya.. Nabi Ibrahim mendidik dengan cara sangat demokratis dalam memecahkan masalah. Serta yang perlu juga diteladani adalah Luqman yang selalu mengutamakan akhirat daripada kehidupan dunia.
Semoga kita bisa menjadi orang tua yang penuh kasih sayang dalam mendidik anak. Tidak mendidik mereka dengan materi dan kemewahan yang justeru menjerumuskan mereka.