Jumlah pengunjung

Selamat Datang di BLOG RUMAH BELAJAR PANDAWA

Selasa, 20 Desember 2011

DIBALIK KECINTAAN PADA MATERI

Hidup sejahtera dengan materi berkecukupan. Semua kebutuhan hidup, baik yang bersifat pokok, kebutuhan sosial hingga kebutuhan aktualisasi diri dan keluarga tercukupi. Itulah impian semua orang. Impian itu kita warisi dari orang tua dan masyarakat. Saat ini kita pun mewariskan kepada anak-anak kita. Kita berusaha membekali anak-anak dengan pendidikan dan keterampilan terbaik, agar kelak anak-anak mampu mendapatkan pekerjaan terbaik hingga sejahtera di usia dewasanya.
Karena impian tentang kesejahteraan yang berkecukupan secara materi, menjadikan kehidupan ini dinamis. Semua orang setiap hari, di sebagian besar usia hidupnya, banyak dihabiskan untuk meraih materi. Sepanjang siang sejak pagi hari hingga menjelang petang, dan bahkan ada yang hingga malam, terus bekerja untuk mewujudkan impian tentang kesejahteraan.
Impian soal hidup sejahtera merupakan sesuatu yang manusiawi atau wajar. Secara obyektif, kita semua memang membutuhkan materi. Kita butuh makan, pakaian, rumah, biaya pendidikan, kesehatan, kendaraan untuk keperluan mobilitas, pemenuhan kebutuhan sosial dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Bagi kita umat islam, materi bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan hidup. Fungsi materi bagi umat islam lebih dari itu. Materi merupakan alat penyempurna ibadah. Baik ibadah kita secara langsung kepada Allah (hablum minallah), maupun ibadah kita sebagai khalifatullah (wakil Allah) di muka bumi dalam hubungan dengan sesama (hablum minannas). Dengan materi yang berkecukupan, kita bisa membekali pendidikan terbaik bagi anak-anak, melaksanakan ibadah haji dan umroh, bisa mengeluarkan zakat setiap tahun dan bisa sesering mungkin bershadaqah baik untuk memenuhi kebutuhan anak-anak yatim dan orang-orang fakir miskin. Dengan fungsi materi seperti itu, maka materi menjadi alat pengangkat derajat kemanusiaan kita, baik di hadapan Allah maupun di hadapan manusia. Materi menjadi kendaraan untuk mencapai derajat manusia terbaik sebagaimana sabda Rasulullah, “sebaik-baik manusia adalah yang banyak bermanfaat bagi sesama”.
Kalaupun materi itu secara obyektif merupakan kebutuhan mutlak semua orang, kita harus tetap menyadari bahwa materi merupakan pisau bermata dua. Materi bisa menjadi alat untuk meraih jalan keselamatan, sekaligus dapat menjadi alat bagi keterjerumusan seseorang dalam hidup. Kita perlu tahu tentang satu hal ini, bahwa bisa saja semangat kita untuk mengumpulkan materi siang dan malam, tidak sepenuhnya berada dalam kontrol hati dan pikiran kita. Bisa saja saat itu ada campur tangan iblis dan setan untuk mempengaruhi dan menjerumuskan kita. Mungkin dalam soal cara memperolehnya dan mungkin pula dalam soal cara pemanfaatannya.
Kalau kita semangat meraih materi dengan cara-cara yang tidak diridhoi oleh Allah, maka pastilah itu bukan murni kemauan hati nurani kita. Itu pasti karen hati dan pikiran kita dikuasai oleh iblis dan setan. Kalau kita memanfaatkan materi yang kita peroleh bukan pada jalan-jalan takwa, pastilah itu karena memperturutkan nafsu dan godaan setan, sementara hati nurani kita tidak berdaya.
Tentang campur tangan iblis dan setan dalam soal manusia berurusan dengan materi, kita bisa membaca dan mengambil hikmah dari kisah yang sangat menarik tentang nabi Sulaiman as menangkap iblis yang kami kutip dari buku “perjumpaan dengan iblis”.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa nabi Sulaiman as memohon kepada Allah swt, “Ya Allah, Engkau telah menundukkan bagiku manusia, jin, binatang buas, burung-burung dan para malaikat. Ya Allah, aku ingin menangkap iblis dan memenjarakan, merantau serta mengikatnya sehingga manusia tidak berbuat dosa dan maksiat lagi”.
Allah SWT kemudian mewahyukan kepada nabi Sulaiman as, “Wahai Sulaiman, tidak ada baiknya jika iblis ditangkap”. Nabi Sulaiman as tetap memohon, “Ya Allah keberadaan makhluk terkutuk itu tidak memiliki kebaikan didalamnya:.
Allah berfirman, “Jika iblis tidak ada, maka banyak pekerjaan manusia akan ditinggalkan”. Nabi Sulaiman as rupanya tetap dengan keinginannya dengan memohon, “Ya Allah, aku ingin menangkap makhluk terkutuk ini beberapa hari saja”. Allah SWT berfirman, “Bismillah, tangkaplah iblis”. Kemudian dengan izin Allah itu nabi Sulaiman menangkap dan memenjarakan iblis.
Nabi Sulaiman walaupun sangat kaya dan berkuasa, tetap makan dari hasil jerih payah tangan sendiri. Beliau membuat rajutan tas dnabiasa di jual di pasar dengan menyuruh anak buahnya. Setelah menangkap iblis, seperti biasa nabi Sulaiman menyuruh anak buahnya menjualkan tas hasil kerajinan tangannya. Tapi apa yang terjadi, ternyata pasar yang biasanya ramai, kali ini tutup.
Nabi Sulaiman bertanya kepada anak buahnya, “Ada apa pasar kok tutup?”. Anak buahnya menjawab, “Kami tidak tahu”. Hari berikutnya anak buah nabi Sulaiman kembali menjual tas itu ke pasar. Namun lagi-lagi ia mendapatkan kenyataan pasar tetap tutup. Justru ia temui kenyataan yang mengherankan. Semua orang pergi ke pekuburan sibuk menangis dan meratap. Semua orang meninggalkan kehidupan kesehariannya dan total mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan ke akhirat.
Menemui kenyataan ini, nabi Sulaiman bertanya kepada Allah, “Ya Allah, apa sebenarnya yang telah terjadi? Mengapa orang-orang tidak bekerja mencari nafakah?” Allah SWT mewahyukan kepada nabi Sulaiman as, “Wahai Sulaiman, engkau telah menangkap iblis itu. Akibatnya manusia tidak bergairah bekerja mencari nafkah. Bukankah sebelumnya telah Ku-katakan padamu bahwa menangkap iblis itu tidak mendatangkan kebaikan?”
Mendengar itu nabi Sulaiman as segera membebaskan iblis. Esok harinya kehidupan pun normal kembali. Orang-orang bergegas ke pasar berjualan seperti biasanya.
Diangkatnya kisah nabi Sulaiman as itu, bukan berarti kita semua diajak untuk beramai-ramai meninggalkan aktivitas keseharian kita dan kemudian hanya berdzikir di masjid. Diangkatnya kisah itu, justru untuk lebih memberikan keyakinan pada hati kita masing-masing tentang besarnya campur tangan iblis dan setan dalam urusan materi. Ketika kita tahu seperti itu, maka menjadi kewajiban kita masing-masing untuk berhati-hati dan waspada saat kita berusaha mengumpulkan materi dan saat kita menggunakan materi yang sudah kita peroleh. Kalau materi kita peroleh dengan cara-cara yang diridloi oleh Allah dan kemudian digunakan dalam hal kebaikan dan takwa. Kemudian saat mencari materi kita tetap istiqamah dalam beribadah, maka materi telah menjadi kendaraan terbaik kita dunia dan akhirat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang dimuat dalam kitab Nashaihul Ibad, “Sebaik-baik kendaraan adalah dunia, maka pergilah kamu (ke akhirat) dengan kendaraan dunia, niscaya dunia itu akan mengantarkanmu ke akhirat (surga)”.
Tapi jika sebaliknya, materi diperoleh dengan cara mungkar, (korupsi, kolusi, menipu, mengurangi timbangan, mark up harga, ketidakjujuran dan sebagainya), atau materi diperoleh dengan cara baik, tetapi digunakan untuk kemungkaran. Apalagi pada saat mencari materi juga lalai untuk beribadah kepada Allah maka materi itu telah menjadi alat iblis dan setan untuk menjerumuskan manusia. Siapapun orangnya, jika demikian itu terjadi pada dirinya, maka ia akan terpenjara dalam kecintaan pada dunia yang tidak proporsional. Dan bersiap-siaplah untuk sengsara di sepanjang hidupnya. Renungi sabda Rasulullah Saw yang dimuat dalam kita Nashaihul Ibad berikut ini, “Barang siapa hatinya telah disiram dengan rasa cinta pada dunia, maka ia akan dibuntuti dengan 3 hal, yaitu (1) kecelakaan yang tidak ada habisnya dan tidak ia kehendaki, (2) keinginan yang sangat dan tidak akan ada cukupnya, (3) harapan duniawi yang tiada ujungnya. (Na’udzubillah).




KENDARAAN DUNIA AKHIRAT

Andaikata dilakukan pemilahan secara dikotomis, sebagaimana Allah memilah tempat pembalasan semua hamba-Nya menjadi dua golongan, yaitu ahli surga dan ahli neraka, maka orang-orang dalam mengumpulkan materi juga dapat dikelompokkan menjadi dua golongan.
Golongan pertama adalah mereka yang mengumpulkan materi semata-mata untuk kepentingan dunianya. Disadari atau tidak, golongan ini menempatkan materi sebagai tujuan utama dalam hidupnya. Karena orientasi hidupnya hanya dunia, maka perilaku dalam mengumpulkan materi cenderung menggunakan segala cara. Halal atau haram  bukan menjadi bahan pertimbangan. Ridlo atau murka Allah bukan menjadi acuan. Semua kaidah atau ketentuan Allah dan Rasul-Nya diterjang dan tidak dipedulikan. Bahkan untuk kepentingan memburuk materi, ia lalai untuk menunaikan kewajiban beribadah kepada Allah. Shalat dan jenis perintah apapun sering diabaikan. Yang ada dalam benak kelompok ini yang pening dapat materi. Dalam kamus kehidupan mereka, hampir tidak ada kosa kata tentang kewajiban zakat atau bahkan shadaqah sekalipun. Kalaupun mereka mengeluarkan uang untuk bershadaqah, motivasinya tidak akan jauh-jauh dari urusan dunia. Mungkin demi meraih kehormatan, nama baik atau lainnya. Mereka ini sesungguhnya sangat mudah terperangkap menjadi budak-budak materi. Mereka jauh dari jalan Allah dan Rasul-Nya.
Golongan kedua adalah mereka yang mengumpulkan materi untuk kepentingan dunia dan akhiratnya. Golongan kedua ini menempatkan ridlo Allah sebagai tujuan utama dalam hidupnya. Orientasi hidupnya adalah menggapai kebahagiaan akhirat dengan tidak melupakan bagian (kekayaan) di dunia. Karena itu, perilaku dalam mengumpulkan materi, selalu berada di jalan kehati-hatian dan takwa. Halal atau haram, ridlo atau murka Allah, selalu menjadi pertimbangan utama dalam mengumpulkan materi. Semua kaidah atau ketentuan Allah dan Rasul-Nya dipegangi secara erat. Saat berusaha meraih materi, mereka tetap istiqamah menunaikan kewajiban beribadah kepada Allah. Shalat dan jenis perintah apapun selalu ditegakkan. Yang ada dalam benak golongan kedua ini adalah ampunan dan rahmat Allah dunia akhirat. Dalam kamus kehidupan mereka kosa kata tentang kewajiban zakat dan shadaqah digarisbawahi secara tebal untuk segera ditunaikan. Saat mereka mengeluarkan uang untuk zakat dan bershadaqah, motivasinya adalah meraih ridlo Allah. Mereka inilah orang-orang yang senantiasa dirahmati oleh Allah, dimana harta tidak pernah berada di dalam hati, harta mereka tempatkan hanya di almari. Mereka dekat dengan Allah dan Rasul-Nya.
Siapapun diri kita, jika tidak menyadari dengan kedalaman iman dan sesungguhnya, sangat mudah masuk ke dalam golongan yang pertama, yaitu golongan yang jauh dari jalan Allah dan Rasul-Nya. Materi di zaman ini, sangat dominan menguasai cara berfikir dan bersikap dalam kehidupan. Karena itu sedemikian mudahnya menutupi nurani dan akal pikiran. Sedemikian mudahnya membutakna hati dan mempicikkan akal pikiran. Bahkan bila tidak disadari, mudah melunturkan iman seseorang. Bukankah ktia ketahui ada pameo disementara orang yang mengatakan, “Jangankan mencari harta yang halal, yang haram pun sulit didapat”. Ketahuilah ucapan yang demikian itu, sungguh secara langsung meniadakan kekuasaan Allah. (Astaghfirullah ….)
Walaupun materi sangat kita butuhkan dalam hidup, dimana kita siang dan malam memburunya, tidak seharusnya hati dan akal pikiran dikendalikan oleh materi. Sebaliknya hati dan pikiran kitalah yang menentukan dalam urusan materi. Materi harus tetap kita sadari dan kita tempatkan hanya sebagai alat atau sarana dalam kehidupan kita di muka bumi. Kita semua, seharusnya berpegangan pada janji Allah yang akan memberikan keuntungan dunia sekaligus akhirat kepada siapapun yang perbuatan hidupnya termasuk dalam urusan materi, diorientasikan untuk kepentingan mencari bekal akhirat. Bekerja mencari materi diniatkan sebagai amal ibadah. Cara memperoleh materi juga selalu berpegangan kepada ketentuan Allah. Memanfaatkan materi yang diperoleh juga di jalan Allah. Berbahagialah orang yang bisa demikian berupa jaminan Allah dunia akhirat. Inilah jaminan Allah dalam al-Qur'an, “Barang siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki Keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari Keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.”
Sebaliknya orang-orang yang dikuasai materi, maka hati dan pikirannya akan selalu lelah, sempit dan tidak tenang. Orang-orang ini akan mengalami apa yang disabdakan Rasulullah, dimana materi tidak mendatangkan kebaikan bagi dirinya, tapiu justru banyak mendatangkan kemudharatan (kejelekan) bagi dirinya. Beliau bersabda, “Sesungguhnya mengumpulkan harta itu memiliki 5 dampak negatif, (1) lelah dalam mengumpulkannya (2) lupa mengingat Allah karena sibuk mengatur harta (3) takut terhadap begal dan pencuri (4) pantas menyandang gelar bakhil atau kikri bagi dirinya (5) menjauhkan diri dari orang yang shaleh karena sibuk”. Kalau apa yang disabdakan Rasulullah itu terjadi pada seseorang, alangkah tidak beruntungnya hidup orang tersebut. Ia akan tenggelam dalam cinta dunia. Mengalami berbagai macam kesulitan hidup yang tidak ada habisnya. Dipermainkan keinginan-keinginan yang tidak pernah terpuaskan. Akan terobsesi oleh kehidupan dunia yang tidak ada ujungnya (na’udzubillah). Perhatikan sabda Rasulullah berikut ini, “Barang siapa hatinya telah disiram dengan rasa cinta pada dunia, maka ia akan dibuntuti dengan 3 hal, yaitu (1) kecelakaan yang tidak ada habisnya dan tidak ia kehendaki, (2) keinginan yang sangat dan tidak akan ada cukupnya, (3) harapan duniawi yang tiada ujungnya.
Meskipun dunia bisa menenggelamkan siapapun. Meskipun dunia bisa menyeret orang ke dalam kesesatan yang jauh dari jalan Allah dan Rasul-Nya. Tidak berarti kita harus menjauh dari materi. Dunia itu bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, yang mengindahkan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, merupakan kendaraan utama untuk meraih ridlo Allah dan surga-Nya. Bukankah Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik kendaraan adalah dunia, maka pergilah kamu (ke akhirat) dengan kendaraan dunia, niscaya dunia itu akna mengantarkanmu ke akhirat (surga)”. Dan inilah penegasan Rasulullah tentang orang baik, yang mari kita jadikan pegangan dalam kehidupan kita di seluruh umur kita yang tersisa. Rasulullah Saw bersabda, “Orang yang paling baik diantara kamu bukanlah orang yang meninggalkan dunia karena akhiratnya, dan bukan pula orang yang meninggalkan akhirat karena dunianya. Akan tetapi yang paling baik diantara kamu adalah orang yang mengambil dunia dan akhiratnya (kedua-duanya)”.
Yang harus selalu kita tafakkuri (merenungi dengan segenap hati dan pikiran) adalah sungguh tidak mudah bagi kita yang hidup di zaman ini untuk menjadi orang yang paling baik sebagaimana sabda Rasulullah diatas. Rasanya kita ini sudah masuk ke dalam zaman yang diprediksi Rasulullah, dimana dunia dan materi sedemikian kuatnya menguasai hati dan pikiran kebanyakan manusia, sampai-sampai melupakan akhiratnya. Inilah prediksi Rasulullah itu, “Akan datang pada umatku suatu masa dimana umatku mencintai lima perkara, yaitu, (1) mereka mencintai duniawi, sedang mereka melupakan ukhrawi (akhirat), (2) mereka cinta kehidupan, tapi mereka melupakan kematian, (3) mereka mencintai gedung-gedung (yang indah) tapi mereka melupakan kuburan, (4) mereka mencintai harta tapi mereka melupakan tanggung jawabnya, (5) mereka mencintai makhluk, tapi mereka melupakan khalik (Allah)”.
Semoga Allah memberikan pertolongan kepada kita dengan taufik-Nya, sehingga disaat kita berurusan dengan materi, senantiasa berada di jalan kehati-hatian dan takwa. Amin..


MENATA HATI DAN PIKIRAN

Menata hati dan pikiran. Itulah pekerjaan yang paling krusial (penting dan menentukan) bagi seseorang dalam berhubungan dengan materi. Banyak atau sedikit jumlah materi yang dipunyai, sesungguhnya tidak selamanya bisa menjadi penentu bahagia atau tidak bahagia hidup seseorang. Bisa jadi mereka yang hidupnya serba berkecukupan, justru merasa kurang bahagia. Sebaliknya, keluarga yang secara materi hidup sederhana, justru merasakan ketenangan dan ketentraman hati. Yang demikian itu bukan sesuatu yang luar biasa. Melainkan sesuatu yang biasa saja.
Bahagia atau tidak bahagia itu merupakan bentuk respon psikologis atas fakta atau kenyataan yang dihadapi seseorang. Karena itu rumus bahagia atau tidak bahagia sederhana saja. Kalau fakta yang direspon sesuai dengan harapan, maka orang secara otomatis merasa bahagia. Demikian pula sebaliknya, kalau yang direspon ternyata fakta yang tidak sesuai dengan harapan, maka akan muncul respon kecewa yang karena itu tidak bahagia. Misalnya anak yang sedang menempuh ujian yang berharap lulus. Maka jika hasil ujiannya baik, maka berarti sesuai dengan harapan. Karena itu ia merasa bahagia. Tapi kalau hasil ujiannya ternyata sebaliknya, yaitu jelek alias tidak sesuai dengan harapan, maka ia akan kecewa yang karena itu tidak bahagia.
Rumus bahagia atau tidak bahagia itu berlaku pula dalam berurusan dengan materi. Karena itu, kita perlu menata orientasi atau tujuan kita memiliki dan menguasai materi. Keberhasilan dan kegagalan menata orientasi atau tujuan akan menentukan seberapa besar kita bisa meraih kebahagiaan dalam hidup. Karena orientasi pemilikan materi akan menentukan jenis respon terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan materi.
Siapapun diri kita, bisa masuk ke dalam salah satu dari dua golongan berikut. Golongan pertama, adalah orang-orang yang orientasi memiliki materi untuk meraih kemanfaatan hidup di dunia. Yang ada dalam benak golongan ini adalah yang penting dirinya mempunyai materi. Siapapun yang masuk ke dalam golongan yang pertama ini, hati dan pikirannya akan selalu bekerja sangat keras karena sibuk memikirkan materi. Akibatnya sedikit sekali merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam berhubungan dengan harta.
Golongan kedua adalah orang-orang yang orientasi memiliki harta untuk meraih kemanfaatan hidup dunia dan akhirat. Yang ada dalam benak golongan ini adalah ridlo Allah atas diri dan hartanya. Siapapun yang masuk ke dalam golongan kedua ini, hati dan pikirannya akan selalu tenang dan tenteram. Ia tidak bergantung pada materi, tapi pada pemilik materi yang sesungguhnya yaitu Allah SWT. Karena itu dalam berhubungan dengan materi ia selalu bahagia.
Mari kita lihat posisi materi dalam dua golongan ini dari sabda Rasulullah, “Sebaik-baik dunia adalah bagi orang yang menjadikan dunia sebagai perbekalan untuk kepentingan akhirat, sehingga ia senang terhadap Tuhan-Nya, dan seburuk-buruk dunia adalah bagi orang yang dunianya bertentangan dengan urusan ahkiratnya dan mengabaikannya dari keridloan Tuhan-Nya”.
Ya, sebaik-baik dunia dan seburuk-buruk dunia dalam hadits Rasul itu bisa dirasakan oleh siapapun. Kita semua pasti merasakannya, karena kita pasti termasuk ke dalam salah satunya. Sebaik-baik dunia itu akan dirasakan oleh mereka yang selalu menyertakan Allah disaat berusaha meraih materi dan saat mengeluarkan materi. Sebaliknya seburuk-buruk dunia itu akan dirasakan oleh mereka yang melupakan Allah saat mencarinya dan saat mengeluarkan materi.
Kedua golongan itu sangat bertolak belakang dalam menata hati dan pikiran saat berhubungan dengan materi. Golongan yang dunia baginya menjadi baik, pasti mencarinya di jalan yang diridloi Allah. Demikian pula saat memanfaatkannya juga di jalan Allah. Diantaranya ia merasa ringan hati dan tangan untuk mengeluarkan zakat dan shadaqah. Saat mengeluarkan materi di jalan Allah, yang terbayang bukan materi yang berkurang. Yang terbayang justru tambahan kebaikan bagi dirinya berupa ridlo Allah, kebarokahan hidup, dan catatan amal kebaikan yang akan ia nikmati kelak di alam akhirat. Karena itu saat mengeluarkan materi ia bergembira dengan janji-janji Allah kepada dirinya, baik selama hidup di dunia dan terlebih lagi di alam akhirat. Penulis kenal dengan sebuah keluarga, yang kebetulan teman baik, yang dapat menjadi contoh konkrit dari golongan ini. Teman dan keluarganya kalau kedatangan tamu minta sumbangan atau pengemis ke rumah mereka, yang terkatakan oleh mereka adalah, “Alhamdulillah …. Allah mengantarkan pahala dan kebaikan untuk kita sekeluarga”. Subhanallah …. Nikmatnya hidup.
Golongan yang dunia baginya menjadi buruk, pasti mencarinya tidak mempedulikan faktor ridlo dan murka Allah. Demikian pula saat memanfaatkannya juga tidak di jalan Allah. Ia akan merasa berat hati untuk mengeluarkan zakat dan shadaqah. Ia berat mengeluarkan materi di jalan Allah karena yang berbayang soal berkurangnya jumlah materi yang di tangan. Ia tidak peduli tambahan kebaikan bagi dirinya. Ia tidak memperhitungkan ridlo Allah dan kebarokahan hidup. Bahkan ia tidak peduli terhadap catatan amal kebaikan untuk bekal di akhirat kelak. Apa kira-kira yang akan dirasakan di hati dan pikirannya apabila datang orang meminta sumbangan atau pengemis ke rumahnya? Pasti berbeda dengan respon keluarga teman diatas. Yang mengedepan kira-kira buruk sangka. Karena yang terbayang adalah orang datang untuk mengurangi kekayaan materi yang dimiliki. Astaghfirullah…
Dua golongan ini akan selalu bertolak belakang dalam segala keadaan. Misalnya saat harus berobat ke dokter dan harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Maka golongan yang pertama akan dengan ringan dan ikhlas hati mengeluarkan biaya. Bahkan ia bersyukur karena mengeluarkan uang amanah Allah bukan untuk keperluan maksiat. Yang terbayang dalam benaknya adalah berobat pun juga bagian dari ikhtiar ibadah.
Sementara golongan kedua, pasti merasa berat hati saat mengeluarkan biaya berobat karena merasa terkurangi materi yang dimiliki. Maka beban batinnya pun menjadi bertambah berat. Berat memikirkan sakit diri atau keluarganya. Dan bertambah berat pula karena memikirkan materi yang dimiliki berkurang.
Konkritnya, golongan pertama berfikir materi pada fungsi kemaslahatan dan tanggung jawabnya di hadapan Allah. Sedang golongan kedua berfikir materi pada wujud dan jumlahnya. Karena itu out put nya pun berbeda. Pertanyaannya, dimanakah posisi kita saat ini? Hanya kitalah yang tahu jawabannya!


HIDUP UNTUK BERIBADAH KEPADA ALLAH

Mari kita bersama-sama berdoa kepada Allah, agar kita ditolong dengan taufik-Nya sehingga kita dapat menjalani hidup dan kehidupan di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya. Yaitu bisa hidup sesuai dengan tujuan penciptaan kita sebagaimana telah ditetapkan oleh Allah. Kita berlindung kepada Allah dari hidup hanya memperturutkan nafsu dan syaitan hingga kita tersesat dari jalan kebenaran, dari jalan islam. Pertolongan dan perlindungan dari Allah itu selalu kita harapkan, karena kita menyadari sepenuhnya, bahwa ujung dari kehidupan ini tidak lain adalah kematian. Sungguh bukan kematian yang kita takutkan. Karena kematian merupakan kemestian yang tidak mungkin terhindari. Siapapun pasti akan mengalami. Yang kita takutkan adalah kita tidak bisa mempertanggungjawabkan anugerah karunia hidup, karena banyaknya beban kesalahan dan dosa yang harus kita pikul. Sementara amal-amal shaleh kita sangatlah tidak berarti. Itupun kita khawatirkan tercampur dengan ketidakikhlasan dan ingin dilihat atau dinilai orang (riya’). Na’udzubillah …
Kita yang hidup di zaman ini tidak boleh lengah sedikitpun dari berharap akan pertolongan dan perlindungan dari Allah, agar kita tetap istiqamah di jalan keselamatan. Hati dan pikiran ini, kita rasakan selalu tambah bebal saja. Dari waktu ke waktu semakin berat untuk menapaki jalan yang di ridloi-Nya. Tarikan pesona kehidupan dunia dengan segala pernak-perniknya selalu mudah menggelincirkan dan melalaikan hati kita. Kita mudah tergelincir saat kita berurusan dengan soal anak-anak, istri/suami, harta, pangkat, jabatan, kedudukan, kehormatan, perdagangan, pekerjaan dan sejenisnya. Akibatnya kita jadi mudah bermaksiat. Jadi ringan berbuat kemungkaran tanpa merasa bersalah dan berdosa. Berbuat dzalim seakan merupakan sesuatu yang biasa. Bahkan tidak jarang kita berani berbuat nista yang merendahkan derajat diri, baik di hadapan sesama, terlebih lagi dihadapan Allah. Padahal sudah tidak terbilang kita mendengar ayat al-Qur'an tentang tujuan penciptaan diri ini. Kita ini diciptakan oleh Allah sebagaimana firman-Nya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. adz-Dzariyat: 56)
Kita dihadirkan oleh pencipta kita, Allah SWT di muka bumi untuk beribadah, untuk mengabdi kepada-Nya. Mengabdi itu dalam pengertian sederhana adalah “nurut atau patuh” kepada-Nya. Nurut atau patuh untuk melakukan perintah-Nya dan nurut atau patuh untuk tidak melakukan apa yang dilarang-Nya. Sungguh dalam keduanya, dalam perintah dan larangan, terdapat Rahman dan Rahim Allah. Terdapat cinta dan kasih sayang Allah yang sangat besar kepada semua hamba-Nya. Tapi apa yang kita sikapi selama ini, perintah Allah dianggap sebagai sebuah beban yang berat untuk dijalani. Mari kita lihat dalam dua contoh perintah Allah, yaitu shalat dan zakat (termasuk shadaqah). Kita diperintahkan oleh Allah shalat lima waktu. Diantara kita tidak banyak yang sungguh-sungguh mengerjakannya (dengan hati hadir). Kalaupun mengerjakan, tidak sedikit yang hanya sekedar melaksanakan agar gugur kewajiban. Shalat tidak kita laksanakan sebagai sarana untuk berdialog secara langsung dengan Allah. Shalat tidak kita jadikan sebagai media untuk menunjukkan ketulusan dan keikhlasan menghamba kepada-Nya. Shalat tidak kita tempatkan sebagai sarana dzikir atau mengingat Allah. Akibatnya shalat kita tidak pernah menjadi penentram hati sebagaimana dijanjikan oleh Allah, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”. (Q.S. ar-Ra’d: 28). Semoga firman Allah itu akna menyadarkan hati kita semua, bahwa ketentraman dan kebahagiaan yang hakiki tidak bisa diperoleh dengan berbagai pemenuhan kebutuhan jasmani. Seperti rumah indah, makan serba lezat dan nyaman, rekreasi dan sejenisnya.
Allah memerintahkan kita untuk mengeluarkan zakat dan shadaqah. Tapi ada diantara kita yang menolak dengan sangat kikirnya (na’udzubillah). Tidak mau mengeluarkan zakat dan shadaqah, karena hartanya takut berkurang dan bahkan takut menjadi miskin. Tidak pernah menyadari bahwa yang demikian itu adalah bisikan-bisikan iblis dan syetan. Padahal sudah diberitahu oleh Allah siapa syaitan itu, “Sesungguhnya syaitan itu mush yang nyata bagimu”. (Q.S. al-An’am: 142). Lupa pada peringatan Allah bahwa siapapun yang berpaling dari mengikuti perintah Allah, termasuk mereka yang tidak mau berzakat, maka orang ini akan diserahkan oleh Allah kepada syaitan, “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha Pemurah (Al Quran), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) Maka syaitan Itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Q.S. az-Zukhruf: 36). Alangkah nistanya orang yang berteman dengan syaitan. Ia akan mengakhiri hidup dalam kesesatan dan dalam keadaan terus merugi dunia-akhirat. Firman Allah dalam al-Qur'an, “Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, Maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya.” (Q.S. an-Nisa’: 38)
Sungguh dalam ibadah kewajiban zakat dan dalam perintah sunnah shadaqah itu ada kasih sayang Allah yang sangat besar kepada semua hamba-Nya. Allah menghendaki pemerataan rezeki diantara semua hamba-Nya. Sebagaimana perintah-Nya dalam al-Qur'an, “… Supaya harta itu jangan beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu …”. (Q.S. al-Hasyr: 7). Andaikata manusia di muka bumi ini mau melaksanakan perintah zakat dan shadaqah dengan konsisten, maka akan dengan cepat terjadi pemerataan. Sementara pemerataan kekayaan akan meningkatkan daya beli pada semua lapisan sosial. Ketika daya beli meningkat, maka kebutuhan barang dan jasa akan meningkat pula dalam jumlah yang sangat besar. Ketika barang dan jasa melimpah yang diiringi daya beli yang tinggi, maka kemakmuran yang merata, semua lapisan sosial akan diuntungkan. Mereka yang kaya akan bertambah kaya, karena mereka memegang kunci-kunci produksi barang dan layanan jasa. Lapangan kerja terbuka luas dimana-mana. Maka tidak akan ada lagi kemiskinan absolut (miskin total dan mengenaskan) di seluruh permukaan bumi. Itulah nalar atau logika barakah Allah atas harta bila dijalankan dalam konteks ibadah, dalam ketundukan dan patuh kepada perintah Allah.
Empat belas abad yang lalu, Rasulullah memikirkan dan mengkhawatirkan keselamatan ummatnya, termasuk kita didalamnya. Beliau menginginkan kita semua selamat dunia akhirat. Tidak terbilang beliau menangisi kita semua, ummatnya di sepanjang zaman. Beliau sering berurai air mata memohon kepada Allah untuk keselamatan kita semua. Bahkan Allah mengabadikan beratnya beban hati beliau karena memikirkan keselamatan kita semua. Baca dengan mata hati firman Allah ini, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.”. (Q.S. at-Taubah: 128).
Rasulullah Saw banyak menangisi keselamatan kita umatnya. Tapi apa yang kita lakukan selama ini sebagai umatnya? Kita tidak pernah sungguh-sungguh hidup untuk beribadah. Kita lebih banyak terjebak memperturutkan nafsu dan syaitan. Siang – malam yang ada dalam hati dan pikiran hanya keinginan menumpuk-numpuk harta dan kekayaan, mengejar kehormatan, pangkat, kedudukan, jabatan. Kita banyak meninggalkan fitrah penciptaan diri untuk beribadah kepada Allah. Teramat sering kita lalai terhadap pesan Allah dalam al-Qur'an, bahwa, ketahuilah, Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak-anak…,  (Q.S. al-Hadid: 20)


TARIKAN NAFAS IBADAH ATAU MAKSIAT

Dalam tulisan bagian satu dimuka telah dijelaskan bahwa kita dihadirkan di muka bumi oleh Allah untuk mengabdi (beribadah) kepada Allah. Dalam pengertian sederhana mengabdi itu adalah “nurut atau patuh” kepada-Nya. Nurut atau patuh untuk melakukan perintah-Nya dan nurut atau patuh untuk tidak melakukan apa yang dilarang-Nya. Nurut dan patuh itu bukan hanya menyangkut soal-soal seperti; melaksanakan kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, shadaqah, membaca al-Qur'an dan amal-amal shaleh lainnya. Juga, nurut dan patuh itu bukan hanya terbatas menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya seperti; tidak minum-minuman keras, tidak berzina, tidak memakan makanan yang haram, tidak berjudi dan hal-hal yang jelas-jelas dilarang lainnya. Nurut dan patuh kepada Allah itu adalah nurut atau patuh dalam totalitas (seluruh aspek) kehidupan kita.
Untuk memperjelas bahwa ibadah itu meliputi seluruh totalitas kehidupan kita, mari kita baca hadits Rasulullah tentang kepemilikan kuda yang bisa menjadi sumber dosa atau sumber pahala. Beliau bersabda, “Kuda itu ada tiga macam, (1) kuda yang menjadi (sumber) dosa bagi seseorang, (2) kuda yang menjadi penghalang bagi seseorang (dari neraka), (3) kuda yang menjadi (sumber) pahala bagi seseorang. Kuda yang menjadi (sumber) dosa baginya adalah yang mengikatnya (memiliki) karena riya’ dan untuk membanggakan diri serta untuk memusuhi para pemeluk islam. Maka ia (kuda) merupakan dosa baginya. Adapun kuda yang menjadi penghalang (dari neraka) baginya ialah seseorang yang mengikatnya di jalan Allah, kemudian dia tidak melupakan hak Allah pada punggung dan leher kuda itu. Maka ia merupakan penghalang baginya (dari neraka). Adapun kuda yang menjadi pahala baginya adalah seseorang yang mengikatnya di jalan Allah bagi para pemeluk Islam (untuk jihad) di tanah lapang yang banyak tanamannya maupun di kebun yang indah. Tidaklah ia (kuda) makan sesuatu dari tanah yang lapang atau dari kebun itu, melainkan ditetapkan kebaikan sebanyak apa yang dimakan darinya dan ditetapkan pula kebaikan baginya sebanyak kotoran yang dikeluarkannya. Apabila tali kekangnya dipotong lalu dijadikan cambuk satu atau dua cambuk, melainkan Allah menetapkan kebaikan baginya sebanyak langkah kakinya atau kotoran yang dikeluarkannya. Apabila pemiliknya melewati sungai bersama kudanya lalu kuda itu meminum airnya, padahal ia (pemilik) tidak bermaksud memberinya minum, melainkan Allah menetapkan kebaikan baginya sebanyak air yang diminumnya”.
Dari hadits itu kita mengerti dengan jelas, bahwa apapun bisa bernilai ibadah atau bernilai maksiat kepada Allah. Mungkin berupa mobil, sepeda motor, emas, uang, rumah, tanah, toko, perusahaan, sandal jepit, sepatu, baju, sabuk, kursi, sapu lantai, dan lain sebagainya. Tergantung kita bagaimana menempatkan, memanfaatkannya serta menyikapinya dengan hati dan pikiran.
Demikian juga, semua gerak, langkah, ucapan, sikap, perbuatan, gerak hati dan pikiran yang dilakukan dengan cara nurut atau patuh kepada (ketentuan) Allah, maka dicatat sebagai ibadah yang bernilai pahala. Demikian pula sebaliknya, semua langkah, gerak, ucapan, sikap, perbuatan, gerak hati dan pikiran yang dilakukan dengan cara tidak patuh atau tidak nurut kepada (aturan) Allah, maka perbuatan itu dicatat sebagai maksiat kepada Allah dan dicatat sebagai perbuatan dosa. Dalam konteks seperti itulah kita pahami bahwa hidup kita untuk beribadah. Penegakannya pada semua manusia, termasuk pada kita, Allah menempatkan malaikan di kanan dan kiri setiap hamba-Nya. Sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur'an, “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir di dekatnya”. (Q.S. Qaff: 18).
Hanya sayang, dalam realitas hidup keseharian, tidak sedikit diantara kita yang memahami ibadah secara sempit atau keliru. Ibadah dipahami hanya sebatas kewajiban ibadah shalat, zakat, haji, shadaqah dan amal-amal shaleh lainnya. Akibatnya terjadi dikotomi atau pemisahan iman dan Islam terpisah dari praktek hidup keseharian kita. Iman dan Islam hanya ada di masjid-masjid dan majelis ta’lim. Saat beradai di masjid atau majelis ta’lim, muncul sikap-sikap mulia sebagai hamba Allah yang bertaqwa. Begitu keluar dari masjid atau sudah pulang dari majelis ta’lim, maka iman dan Islam ditinggalkan (na’udzubillah). Cukuplah menjadi bukti bagi kita maraknya maksiat dimana-mana saat berurusan dengan soal harta, pangkat jabatan, kedudukan, profesi, perdagangan dan pekerjaan. Bukankan perilaku patologis (mungkar) meluas dimana-mana dalam segala urusan seperti; korupsi, mark up harga, mengurangi timbangan, mengurangi kualitas, tidak jujur, kolusi, manipulasi pertanggungjawaban di kantor, suap-menyuap, dan keculasan lainnya.
Sangat beruntung mereka yang memahami totalitas hidup itu sebagai ibadah. Ia akan memperoleh catatan amal kebaikan dari seluruh aktivitas hidupnya. Dari aktivitas kerja misalnya. Ketika ia pergi berangkat bekerja, bekerjanya diniatkan sebagai bagian dari penghambaan kepada Allah. Ia akan bekerja dengan jujur, disiplin dan dengan etos kerja yang tinggi untuk berkarya dan berprestasi terbaik untuk kemaslahatan diri, keluarga dan orang banyak.
Terhadap orang yang bekerja dengan menata hati seperti itu, tidak seorang pun mampu membayangkan betapa besarnya kebaikan dan pahala yang ia kumpulkan di sisi Allah. Bagaimana tidak akan besar nilainya, bukankah sarana kerja, aktivitas dirinya saat bekerja dan penghasilan yang diperoleh, semuanya bernilai pahala. Apabila ia berangkat ke tempat kerja naik kendaraan sebagai sarana transportasi kerja, maka sarana kerja itu sesungguhnya adalah sarana pengumpul pahala. Badan berkeringat dan lelah karena aktivitas kerja seharian, tergantikan dengan catatan kebaikan yang dicatat oleh malaikat di kanan (pencatat pahala) detik demi detik. Saat melayani orang-orang yang membutuhkan dilakukan dengan ramah dan dengan senyumnya, maka keramahan dan senyum itu bernilai shadaqah. Hasil kerja berupa uang atau barang yang dibawa pulang ke rumah untuk memberi nafkah kepada istri dan anak-anak bernilai shadaqah yang sangat besar pula.
Sebutlah seluruh jenis aktivitas dalam hidup, mulai dari yang dianggap paling remeh sampai yang penting-penting, semuanya akan bernilai ibadah kalau ia dilakukan dengan mengindahkan ketentuan (nurut) Allah. Sebaliknya, semua aktivitas yang dilakukan dengan mengabaikan ketentuan Allah (membangkang), maka ia bernama maksiat kepada Allah. Sungguh setiap detik dalam dua puluh empat jam kehidupan kita, di seluruh umur kita, akan ada catatan tentang amal ibadah atau maksiat kepada Allah. Karena itu dalam setiap tarikan nafas kita, ada catatan amal ibadah di sisi Allah atau catatan maksiat kepada Allah. Tergantung bagaimana kita memanfaatkannya.
Semoga kita semua, keluarga dan sebanyak-banyaknya kaum muslimin, memperoleh pertolongan berupa taufik Allah sehingga kita bisa mengisi hidup dengan sebaik-baiknya. Kita bisa menjalankan ketentuan (nurut) Allah dengan rasa penghambaan yang tulus dan ikhlas. Kita berdoa dan berharap kelak di hari kiamat, di padang mahsyar, menerima catatan amal perbuatan dengan tangan kanan kita sebagai tanda bahwa kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang diselamatkan oleh Allah. Dimasukkan oleh Allah ke dalam golongan orang-orang yang beruntung karena memperoleh ampunan dan rahmat Allah. Amin…


MAUT YANG BANYAK DILUPAKAN

Kalau judul tulisan ini memilih kata “pedih” tentang maut. Maka sesungguhnya kata itu tidaklah tepat untuk mewakili bobot rasa sakit yang tiada tara yang dirasakan saat manusia mengalami sakaratul maut. Andaikata ada alat ukur yang bisa mengukur rasa sakit yang dialami oleh orang yang menderita suatu penyakit yang paling sakit rasanya. Selanjutnya sakit yang paling sakit itu, dibandingkan dengan sakit dan pedihnya rasa sakit sakaratul maut. Maka rasa sakit yang disebabkan penyakit itu tidak ada apa-apanya dibandingkan sakitnya sakaratul maut. Mari kita baca apa yang disampaikan para nabi dan Rasul Allah tentang pedihnya sakaratul maut. Semoga akan selalu menjadi pengingat bagi kita semua untuk mempersiapkan bekal yang terbaik. Mengantarkan kita konsisten dengan motivasi hidup untuk beribadah kepada Allah dalam semua aspek kehidupan kita.
Mari kita mulai dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini; sanggupkah kita menahan rasa sakit, jika saat ini tiba-tiba badan ini ditebas dengan sekali tebasan pedang yang tajam? Bagaimana kalau ditambah dengan dua kali atau tiga kali lagi tebasan? Jika masih sanggup, bagaimana kalau ditambah dengan puluhan kali lagi tebasan, sehingga menjadi sembilan puluh sembilan kali tebasan pedang tajam? Masih sanggupkah kita manahan rasa sakit …? Tidak mungkin, tidak mungkin kita sanggup menahan pedihnya rasa sakit. Manusia mana yang dapat menahan tebasan pedang seperti itu? Jangankan ditebas dengan pedang, sekedar tergores pisau dapur saja, sakitnya sudah minta ampun.
Ketahuilah, andai kita bisa merasakan sakitnya tebasan pedang sejumlah sembilan puluh sembilan kali itu, sakitnya masih belum seberapa dibandingkan dengan sakitnya sakaratul maut. Masih dibutuhkan ratusan kali lagi tebasan pedang untuk menyamai rasa sakitnya sakaratul maut. Sakitnya sakaratul maut itu, jauh lebih sakit dari ditebas oleh seribu kali tebasan pedang yang tajam. Kita sudah diberitahu oleh Rasulullah tentang sakit yang tiada tara itu dalam sabdanya, “Demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, menghadapi malaikat maut adalah jauh lebih sakit dari pada seribu tebasa pedang”. (Subhanallah …, astaghfirullah …, semoga Allah menjaga hati kita semua, agar tetap dalam iman dan Islam di saat menghadapi beratnya sakaratul maut.. amin…)
Jika kita masih tidak bisa membayangkan rasa sakit sakaratul maut, maka mungkin pengalaman nabi Musa berikut ini bisa mengantarkan pada kesadaran hati. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, ketika nyawa nabi Musa terbang menuju Tuhan-Nya, Allah SWT berfirman kepada Musa, “Wahai Musa, bagaimana engkau merasakan kematian?” nabi Musa menjawab, “Aku mendapatkan diriku laksana seekor kambing yang masih hidup dikuliti oleh penjagal”. (Allah… betapa sakitnya …)
Nabi Ibrahim, bapak para nabi, termasuk yang diringankan sakaratul mautnya oleh Allah. Allah berfirman kepada nabi Ibrahim, “Sesungguhnya kami telah meringankan untukmu wahai Ibrahim”. Seperti apa ringannya sakaratul maut yang dirasakan nabi Ibrahim? Ketika Allah bertanya kepada nabi Ibrahim, “Wahai khalil-ku, bagaimana engkau merasakan kematian? Nabi Ibrahim menjawab, “Seperti besi panas yang diletakkan diatas kain yang basah”.
Siapapun tidak bisa menghindari pedihnya prahara sakaratul maut. Kepedihan itu tidak bisa ditebus dengan ketaatan dan ketakwaan sekalipun. Kepedihan itu merupakan sunnatullah yang harus dialami oleh sispapun, termasuk oleh hamba yang paling bertakwa sekalipun. Yang paling kita takutkan dan kita khawatiri saat sakaratul maut bukan pedihnya sakaratul maut itu, tetapi lepasnya iman dan tauhid dari dada kita. Ketahuilah disaat manusia menghadapi prahara sakaratul maut, iblis dan syetan berusaha dengan keras untuk menggelincirkan manusia yang beriman agar murtad (keluar dari Islam). Dalam keadaan sangat sulit, bila iman tidak kokoh, khawatirlah iblis dan syetan berhasil melaksanakan misinya. Kalau itu terjadi maka seorang muslim akan meninggal dalam keadaan kafir (naudzubillah, naudzubillah, naudzubillah), maka jadilah seseorang meninggal dalam keadaan su’ul khatimah (akhir hidup yang buruk). Dan ia akan kekal di neraka-Nya.
Agar kita terhindar dari yang demikian dan kita bisa memperoleh pertolongan Allah saat menghadapi beratnya sakaratul maut, maka gunakan semua umru yang tersisa untuk menyempurnakan iman, menghamba dan beribadah kepada Allah dengan sebaik-baiknya. Meraih ampunan Allah dan menjemput rahmat Allah. Hanya dengan cara itu (tidak ada pilihan lain) yang akan menjadi bekal untuk menjemput keselamatan Allah.
Ketika kita tahu dan menyadari bahwa suatu saat pasti merasakan mati, maka seharusnya kita selalu mengingat pesan nabi, “Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan (mati)”. Dengan mempersiapkan bekal sebaik-baiknya untuk kembali menghadap-Nya. Tapi sayang manusia di akhir zaman ini, termasuk penulis dan mungkin juga anda, banyak yang tidak memperdulikannya. Kita ini seakan-akan tidak akan pernah mati dan tidak akan pernah menghadapi prahara sakaratul maut. Kemungkaran demi kemungkaran terus dilakukan. Maksiat setiap saat terus dijalankan tanpa merasa bersalah. Tuntunan Allah dan Rasul-Nya selalu diabaikan. Larangan Allah selalu diterjang tanpa beban. Bukan hanya itu, perintah dan kewajiban untuk menghamba, untuk beribadah kepada Allah tidak sungguh-sungguh ditegakkan. Bahkan ada diantara kita yang secara sadar mengabaikannya. Bukankah negeri kita yang mayoritas Islam ini termasuk yang paling tidak jujur? (paling berani menantang siksa Allah?). paling berani korupsi, suap-menyuap, kolusi, manipulasi, mark-up harga, mengurangi timbangan, keculasan dan aneka penyakit hati lainnya. Di kantor, dalam bisnis, perdagangan, jual beli dan bahkan dijalanan pun mudah kita temui. Yang demikian itu dilakukan oleh mereka yang kaya yang sampai mereka yang tidak punya. Pusat-pusat perbelanjaan dan pusat bisnis tidak pernah sepi dari pengunjung. Sebaliknya masjid, saat shalat lima waktu hanya dikunjungi oleh beberapa orang yang berusia tua. Lupa bahwa siapapun yang mengabaikan atau lalai dari mengingat kematian, suatu saat akan bertemu dengan peringatan ayat al-Qur'an yang diabaikan itu, “dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya; itulah yang selalu kamu lari dari padanya”. (Q.S. Qaff: 19).
Mari kita semua mengingat perbandingan waktu kehidupan kita di muka bumi dengan waktu alam akhirat. Kehidupan kita di muka bumi ini jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat tidak lebih lama dari sekedar sekedipan mata. Bahkan satu kali kedipan mata itu masih terlalu lama. Tidak pernahkah sampai apa yang telah dikabarkan oleh nabi kita, Muhammad Saw, bahwa sehari di akhirat itu sama dengan ukuran seribu tahun (satu abad) waktu di muka bumi. Maka kalau kita diberi oleh Allah umur panjang di muka bumi, selama 70 tahun misalnya, maka umur itu tidak ada apa-apanya dibandingkan satu hari saja di akhirat kelak. Itu hanya satu hari, bagaimana jika seminggu waktu akhirat, sebulan, setahun, sepuluh tahun, seratus tahun, seribu tahun? Dan kehidupan akhirat itu kekal. Maka bayangkanlah, jika kita kelak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang disiksa di neraka-Nya (Na’udzubillah). Jika kita mengingat akhirat seperti itu, adakah materi atau kedudukan yang bisa kita banggakan dalam kehidupan kita di muka bumi ini?
Marilah kita hujamkan sekuat-kuatnya dalam hati dan memori otak kita, bahwa hanya takwa yang paling berharga dalam kehidupan ini. Karena hanya takwalah yang akan menjadi bekal keselamatan di sisi Allah. Sebagaimana firman-Nya, “Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa” (Q.S. al-Baqarah: 197). Semoga Allah memasukkan kita semua ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang bertobat sebelum datangnya kematian. Memperoleh ampunan atas semua dosa dan kesalahan. Dan kita dimasukkan oleh Allah ke dalam golongan orang-orang yang diselamatkan dengan rahmat-Nya dunia dan akirat. Amin….


0 komentar:

Posting Komentar