Jumlah pengunjung

Selamat Datang di BLOG RUMAH BELAJAR PANDAWA

Kamis, 08 Maret 2012

Masih Adakah Pendidikan untuk si Miskin



Mulai dari biaya pendaftaran, biaya map, biaya formulir, biaya pendaftaran ulang, “sumbangan” pembangunan sekolah, pembayaran SPP, pembayaran Komite Sekolah, biaya seragam, biaya buku paket, biaya orientasi siswa, beli sepatu baru, beli alat tulis menulis, serta berbagai mata anggaran lainnya. Anggaran tersebut baru untuk satu orang anak. Dapat dibayangkan jika dalam satu keluarga mempunyai lebih dari satu orang anak yang sekolah, Berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua?

Pendidikan sebagai Investasi?

Prinsip pendidikan sebagai investasi merupakan landasan bagi orang tua siswa untuk membiayai pendidikan anaknya. Layaknya seorang pengusaha dalam kepemilikan saham di suatu perusahaan, semakin besar dana yang diinvestasikan, maka semakin besar pula keuntungan bagi hasil  yang akan didapatkan. Prinsip inilah yang selalu didengung-dengungkan oleh pemerintah dengan melakukan privatisasi lembaga pendidikan yang berujung pada swastanisasi.

Prinsip pengusaha juga telah menggerogoti sebagian atau mungkin semua orang tua siswa. Logikanya adalah semakin mahal biaya pendidikan yang diinvestasikan, maka kemungkinan semakin besar pula hasil yang didapatkan. Meskipun harus menggadaikan emas, mobil, sawah, kebun, rumah, atau bahkan sampai meminjam uang di bank atau tetangga. Pertanyaannya kemudian, apakah prinsip investasi pengusaha selalu dapat dikontekskan sama dalam dunia pendidikan? Dan apakah sekolah mahal selalu lebih baik dari sekolah murah?

Jika prinsip pengusaha tersebut berlaku untuk dunia pendidikan, lalu bagaimana dengan Si Miskin? Apakah Si Miskin masih mempunyai cukup uang untuk menginvestasikan uangnya untuk pendidikan? Sedangkan untuk isi perut saja harus “dijamak” dua kali bahkan mungkin hanya sekali sehari! Mereka juga tak memiliki  harta untuk digadaikan serta jaminan pinjaman uang ke tetangga apalagi ke bank. Atau memang Si Miskin tidak berhak untuk sekolah dan mencicipi pendidikan? Lalu siapa yang harus bertanggung jawab?

Tanggung Jawab Pemerintah!

Realitas di atas tidak terlepas dari jeratan ekonomi neoliberal sebagai konsekuensi globalisasi ekonomi yang berorientasi ekonomi pasar (market-driven economy). Salah satu implementasi dari sistem ekonomi neoliberal adalah dengan melakukan pencabutan subsidi di berbagai sektor kehidupan sosial, termasuk subsidi pendidikan dan subsidi BBM. Maka terjadilah privatisasi pendidikan yang dibungkus oleh kebijakan otonomi perguruan tinggi maupun otonomi sekolah.

Terbatasnya anggaran pendidikan yang dikucurkan oleh pemerintah “memaksa” pihak sekolah untuk mencari sumber pundi-pundi keuangan sekolah demi keberlangsungan sekolah. Maka sumber yang paling mudah dan paling cepat untuk mendatangkan devisa bagi sekolah adalah orang tua siswa. Dibentuklah perkumpulan orang tua siswa sebagai representasi seluruh orang tua siswa/mahasiswa untuk memecahkan problem keuangan sekolah/perguruan tinggi secara bersama-sama, antara pihak sekolah dan orang tua siswa.

Orang tua siswa sebagai objek untuk dieksploitasi harus membayar mahal biaya pendidikan di sekolah, sekalipun itu berstatus sekolah negeri. Bagi orang tua siswa dengan tingkat ekonomi level menengah ke atas, biaya mahal bukan menjadi masalah besar. Karena prinsip orang tua adalah biaya mahal itu adalah investasi masa depan untuk anaknya.

Lalu, dimana posisi siswa yang orang tuanya miskin? Modal kecerdasan intelektual tidak menjamin Si Miskin itu mencicipi pendidikan. Realitas tersebut bertolak belakang dengan UU Sisdiknas No.20 tahun 2003. Pada pasal (4) disebutkan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Bahkan Pasal (5) menyatakan “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.

Orang tua siswa Si Miskin juga tidak luput dari objek eksploitasi. namun bukan uangnya yang dieksploitasi, melainkan pemikirannya. Hampir di setiap momen kampanye pemilihan bupati, walikota, gubernur, anggota DPR, hingga presiden, pemikiran mereka dicekoki dengan iming-iming pendidikan gratis atau paling tidak pendidikan murah. Jargon pendidikan seolah menjadi komoditi utama yang laku untuk dijual pada saat kampanye politik. Namun setelah Pilkada/Pemilu, Si Miskin tetap saja tidak sekolah, dan orang tua siswa masih harus merogoh kocek untuk pendidikan anaknya.

Padahal siapapun yang terpilih di Pilkada/Pemilu, pendidikan memang harus menjadi prioritas sesuai amanat konstitusi. Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 dengan tegas menyatakan “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Pendidikan dasar yang dimaksud adalah pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sederajat.

0 komentar:

Posting Komentar