Hari itu hari senin pukul 18.00, desir
angin yang menyibak dahan pepohonan di taman beradu dengan raungan
knalpot kendaraan bermotor yang memadati jalan Ngagel, Wonokromo. Dibawah
rindangnya pohon taman yang menghantarkan lembar-demi lembar daun kering
terhempas direrumputan taman, terdapat sekumpulan bocah-boca yang sedang asik
dengan beragam aktivitas belajar bersama di taman.
Diantara penerangan seadanya mereka
bergerumul menghadap beberapa papan tulis dengan coretan-coretan. Mereka adalah
relawan bersama murid-murid Rumah Belajar Pandawa. Relawan yang merupakan
mahasiswi Universitas Katolik Widia Mandala atau biasa di singkat UWM
yang terdiri dari Mia Dwi Retno, Aprelia Caroline, Brenda Silviani,
Fatmala Fatmawati, Yosefina Silvia Daru, Rana Keera, Novita Jalasari,
Rika Kumalasari, kritina atau biasa disapa Beta.
Salah satu program yang dibawa oleh
relawan ini adalah misi pendidikan pancasila, mula dari belajar kebinekaan,
persatuan Indonesia, dan lain sebagainya. Mengabdi kepada masyarakat dan ikut
merasakan bagaimana kehidupan sesama merupakan salah satu dari upaya
mengaplikasikan sila kedua yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradap,
karena diharapkan kegitan tersebut dapat menyentuh sisi humanis atau
kemanusiaan kita.
“Saya tidak menyangka jika mereka begitu
kuat, sekalipun mereka tak bersama orang tua mereka bahkan diantara mereka
sesungguhnya tidak tahu siapa orang tua mereka sebenarnya. Jika saya yang
mengalami, saya tidak tahu gimana?” ujar Rana mahasiswa asal NTT salah satu
relawan yang kagum dengan semangat anak-anak rumah belajar pandawa.
“Lebih hebatnya lagi mereka tidak pernah
menyalahkan keadaan, tidak menyalahkan orang tua mereka padahal saya sering
ngerasa kurang dengan kasih sayang orang tuaku yang sekarang aku sadari tiada
kurangnya” imbunya sambil tersenyum malu. Air mata itu meluncur deras
Sebab sebelumnya ia mendengar beberapa curhatan langsung dari anak-anak
tentang latar belakang kehidupan yang mereka jalani setiap hari.
Sedihnya Perpisahan
“kaka jangan pergi
kami tidak akan nakal lagi, kami semua akan serius belajar……” teriak tangis
murid Pandawa kepada para relawan pengajar, saat mengucapkan salam perpisahan.
Tidak disangka, malam perpisahan
yang harus dijalani terasa sangat berat, akibatnya tak terasa air mata
menetes dari puluhan pasang mata itu. Deraiannya merambati pipi, kilaunnya
terbias cahaya lampu yang menembus rerimbunan daun dan rupanya juga telah
menembus dihati mereka.
Hari-hari yang telah dialalui bersama
rupanya telah menorehkan selaksa kenangan yang tak mudah dihapuskan, bahkan
oleh air mata perpisahan sekalipun. Memang saat perpisahan tadi suasana sangat mengharukan,
anak anak menangis para relawan juga ikut mengangis.
Maka untuk menceriakan suasana
mereka menghibur diri dengan beragam kegiatan lucu. mulai dari tari ayam “Chiken
Dance” yang dilakoni oleh para murid –murid Pandawa. Hingga hiburan berupa
tarian paling fenomenal saat ini “Gangnam Style”yang dipersembahkan oleh
para relawan.
Akan tetapi, aura perpisahan yang
mengharu biru tidak juga bias terhapuskan, bahkan oleh berisik raungan
kendaraan bermotor yang merayapi jembatan Bosem wonorejo “jagir”. “saya
nggak menyangka, ketika kami bilang besok gak akan datang kesini lagi, seketika
airmata meleleh di kedua belah pipi mereka”, terang Brenda yang juga menehan
airmata.
“Meskipun waktunya singkat, akan tetapi
begitu banyak pelajaran yang telah kami dapatkan. Di Rumah Belajar Pandawa saya
mulai belajar besyukur, atas segala nikmat yang diberikan Allah, ampuni tuhan
saya yang jarang bersyukur” sesal Caroline akibat kekilafannya, kini ia bias
melihat ternyata banyak anak yang jauh tidak seberuntung kita. Hidup tanpa
kasih sayang orang tua, menyambung hidup dijalanan, bahkan ada yang
terbiasa melihat orang tua mereka terjebak lembah hitam pelacuran.
“Kami tak menyangka, mungkin tanpa adanya
Pandawa, mereka akan menjadi 11-12 dari orang tuanya, jika orang tunya kasar
dalam mendidik pasti kelak mereka akan melakukan yang sama” tambah Rana Keera.
“Jadinya saya melihat rumah belajar pandawa bukan hanya member pelajaran berupa
materi tapi juga pelajaran moral yang amat berharga bagi mereka kedepan” terang
Mia menambahkan ungkapan Rana Keera salah satu relawan yang berasal dari Nusa
Tenggara Timur.
Sebingkis Kenangan
Kini para mahasiswi Relawan dari
Universitas Widya Mandala telah purna tugasnya, tunai sudah pengabdian di
Rumah Belajar Pandawa dalam membimbing anak-anak yang butuh bimbingan dan kasih
sayang. Tapi seberapa jauh mereka menghilang dari selingkar pandangan
mata, tapi mereka dan jasa mereka akan selalu terbingkai dihati mereka.
“Kenapa mereka cuma ngajar sebentar,
padahal aku sudah mulai sayang” keluh vista dan yola,. Sambil memegang
bingkisan berupa buku dari relawan ia mengenang saat-saat beberapa jam yang
mereka lalui sebelumnya.
Rupanya benar kata sebuah syair lagu yang
pernah dilantunkan oleh grup band asal jogja, Letto. Bahwa “rasa kehilangan
hanya akan ada jika kita pernah memilikinya”. Dan bukankah sejatinya kita
saling memiliki? Memiliki rasa cinta yang sama, memiliki kasih sayang yang
sama, dan memiliki Rumah Belajar Pandawa bersama.
Diahir perpisahan malam itu, ketika
mereka semua bersedih , kami membisiki dan meyakinkan mereka satu hal, “kalian
orang yang kuat,” kakak yakin kelak adek-adek ijka treus belajar dan berusaha
dengan serius maka kalian menjadai orang yang sukses, persembahkan prestasi
kalian untuk kebanggaan orang tua kita” [] Awan.