“Kalau saya
sudah besar nanti saya ingin menjadi guru” ungkap Mawar bersemangat.
“saya juga
ingin jadi guru” Tambah Melati yang tidak kalah semangatnya (Mawar, melati
bukan nama sebenarnya).
Begitulah
kira–kira celoteh dua anak yang sampai saat ini masih bersama ibunya untuk
mencari sesuap nasi dijalanan kota Surabaya.
Dan diruang tamu home base
Rumah Belajar Pandawa yang sempit karena dipenuhi banyak anak yang ingin
belajar. Diantara sekian banyak murid-murid yang menjadi dampingan kami, adalah
Mawar dan Melati merka adalah anak kurang mampu itu.
Sepasang
kakak adik yang terlambat sekolah karena harus membantu ibunya untuk mengemis
tiap hari. Meskipun sekarang umurnya sudah menginjak kelas satu SD, namun
karena tuntutan ekonomi ia baru sekolah di kelas TK tahun ini. Itupun karena ada
yang memotivasi untuk sekolah, disamping itu merka berdua masih mempunyai
semangat untuk mengapai masadepanya.
“Meskipun terlambat
sekolah, namun mawar dan melati mempunyai kecerdasan yang harus terus
dikembagkan. Mungkin karena ia memang sini kuasa tuhan ya”, tutur Khotijah yang
dengan telaten membimbing dua anak itu belajar membaca dan berhitung.
Di
sampingnya juga tampak papan tulis putih penuh guratan spidol yang berisi
angka-angka penjumlahan. Ia tampak sabar
memberi rayuan dan motivasi agar Mawar
dan Melati selalu rajin belajar agar bisa tercapai cita-cita keduanya.
Hari-Hari
Seniman Kecil Jalanan
Mawar dan Melati
adalah sepasang kakak adik. Mawar yang lebih tua berumur tujuh
tahun, sedang Melati adiknya berumur enam tahun. Meski berbeda umur
namun ia menuntut ilmu di jenjang yang sama, dan lebih mengherankannya lagi
keduanya baru duduk di bangku Taman Kanak-Kanak.
Mereka masih
sekolah di bangku TK bukan karena mereka tinggal kelas. Namun karena mereka
baru saja mengenal dunia pendidikan, sejak adanya lembaga Rumah Belajar Pandawa.
Alasan
mengapa mereka baru bersekolah cukup miris. Ditengah modernnya dunia pendidikan
dengan fasilitas memedai serta jargon pendidikan gratis, Mawar dan Melati masih
sibuk dan ngamen usia sekolah. Akibatnya
seperti diatas ia terlambat sekolah.
Memang,
sebelum bersekolah sepasang kakak berdaik yang tinggal di gubuk semi permanen
yang satu atap dengan gudang sampah dan berhalaman rel kereta api itu
menghabiskan sepanjang harinya di jalanan untuk mengemis bersama ibunya. Ia
berangkat pagi dan pulang pukul Sembilan malam.
“Saya pernah
bertemu kedua anak itu, bersama ibunya mengais risky smpai tengah malam di
angkringan PKL sepanjang trotoar Universitas Airlangga” tutur salah seorang
relawan baru pada kru kalimasada.
Dan ketika Mawar
dan Melati ditanya kemana saja mengemis selama ini, rupanya dia belum bisa
mendiskripsikan dimana saja ia mengemis. Didaerah mana ia belum paham karena ia
Cuma berjalan bersama ibunya, berjalan kemana saja terserah ibunya.
Mereka Cuma
ikut saja.
“Ndak ngerti
mas…! Pokoe melu mak… “ ujar Melati sambil tersipu-sipu malu karena memang
sebenarnya dia malu jika diejek temen-teman sekolahnyakarena pekerjannya.
Apalagi jika ditanya pekerjaan orang tuanya oleh guru, mahu tak mau mereka
harus menahan malu karena teman-teman mereka menimpali dengan serempak
“Mengemis, nagamen”.
Maka dari
itu ia tidak mau sekolah TK hingga bertahun-tahun. Namun dengan kehadiran Rumah
belajar Pandawa mereka jadi termotivasi untuk belajar. Mereka jadi tahu belajar
itu ternyata menyenangkan, dan tidak membosankan seperti yang menghantui
benaknya bertahun lamanya.
“Seneng mas…
iso ketemu teman dan belajar bersama” tambah Mawar ketika ditanya bagaimana
persaan di belajar di Rumah Belajar Pandawa.
Motivasi
untuk Rajin Belajar
Pada bulan
Oktober dan November Rumah Belajar
Pandawa kedatangan Relawan tak tetap dari Universitas Katolik Widia Mandala
atau biasa di singkat UWM. Relawan yang terdiri dari sembilan mahasiswi
semester satu mereka meluangkan waktu kuliyahnya guna turut mengejar bersama di
taman setiap hari Senin malam.
Kedatangan para
mahasiswi tersebut, memberi warna
tersendiri di hati anak didik Rumah Belajar Pandawa. Bahkan dampaknya membuat
mereka makin mengenal banyak guru dari berbagai latar belakang.
Jika
biasanya guru mereka di dominasi mahasiswa IAIN yang berlatar belakang
pendidikan Islam, Humaniora Islam dan social Islam yang bersuku Jawa. kini
dengan kehadiran mahasiswi UWM mereka bisa mengenal guru-guru dari latar belakang lain, latar
belakang farmasi dan dan bahasa inggris member warna tersendiri bagi anak
didik. Keberagaman etnis yang dibawa mulai dari Jawa, Madura, Batak, Timor hingga
keturunan Hokkian tiong Hoa membuat anak-anak mengenal keberagaman dan
menghargainya sebagai wujud kebenekaan.
“Saya bersyukur
diberikan kesempatan untuk mengajar disini, karena dibanding dengan mahasiswa
yang mendapat tugas mengajar di tempat lain, ternyata disinilah yang paling
menantang dan tepat sasaran” tutur Mia, salah satu mahasiswa UWM yang oleh
teman-temannya didaulat sebagai juru bicara.
“Disini itu
pokoknya apa adanya dan tidak dibuat-buat, sehingga tidak heran jika para anak
didik menjadi berprestasi baik disekolah maupun
di luar sekolah” Tambah Carolina penuh semangat.
Menurut
ketua rumah Belajar Pandawa Ali Airlangga, kehadiran para relawan diharapakan mampu memberi
inspirasi bagi anak didik Rumah Belajar Pandawa sehingga mereka jadi lebih
bersemangat untuk belajar untuk mewujudkan cita-citanya.
0 komentar:
Posting Komentar