oleh : Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si
(Dewan
Pembina Rumah Belajar Pandawa)
Demokratisasi seringkali memunculkan suasana konfliktual antara
masyarakat, agama dan negara. Indonesia sebagai negara yang menggunakan pilar
agama sebagai sala satu landasan perjuangan dan cita-cita bangsa. Sebagaimana tertuang di dalam pembukaan UUD
45 yaitu ”atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, maka sesungguhnya agama
dan negara memiliki relasi dalam coraknya yang simbiosis. Tujuannya tak lain
untuk melindungi dan menjamin warga negara dapat menjalankan ibadah agamanya
dengan baik.
Salah satu pilar utama yang patut untuk
dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan beragama adalah, ”setiap agama
telah memiliki batas-batas koridor masing-masing, sehingga apabila dalam
perkembangannya setiap agama yang keluar dari koridor itu, akan membawa keresahan
dalam masyarakat agamanya, untuk itulah pemerintah bertugas menata dan
menyeimbangkan kembali”.
Revitalisasi Pancasila sebagai civil religion
memang menjadi keniscayaan. Bangsa Indonesia mengajui Agama formal dalam
berbagai namanya (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu).
Masyarakat sebagai subyek dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara tidak berkebaratan untuk menjadikan Pancasia sebagai
agama sipil, dalam pengertian menjadi perekat dari semua elemen bangsa. Untuk
itu perlunya “agama umum” sebagai dasar integrasi bangsa, yaitu suatu “agama
rakyat” yang sifatnya umum dan terbuka, yang kelak dinamakan “agama sipil.”
Agama sipil yang dimaksud adalah
suatu simbol hubungan antara warganegara dengan waktu
dan tempat serta sejarah bangsa tersebut di bawah pengertian ultimate reality.
Dari sinilah agama sipil dibawa ke dalam masyarakat menjadi “pandangan hidup
berbangsa dan bernegara yang pluralistik.” Suatu filsafat hidup yang mengayomi
semua warganegara yang berbeda secara etnis dan agama.
Jadi agama sipil adalah suatu gaya hidup berbangsa yang majemuk
dalam agama dan menghisap semua agama formal yang ada. Jika kita punya jiwa nasionalis (sosio nasionalis), serta turut serta
memikirkan nasip bangsa ini (sosio demokratis), maka marilah kita
berkomitmen terhadap nilai-nilai teologis yang kita yakini (ketuhanan yang
maha esa) maka harapan menjadikan pancasila sebagai pandangan hidub
berbangsa dan bernegara akan terwujud.
Pancasila
dengan lima silanya adalah gambaran riil tentang civil religion. Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa merupakan gambaran tentang prinsip utama di dalam civil religion.
Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan
harapan kita semua. Begitu juga dengan
Sila persatuan Indonesia, yang menjadi tanggung jawab seluruh
rakyat.
Indonesia merupakan perwujudan dari konsep persaudaraan yang
didasarkan atas keadilan dan kemanusiaan. Kemudian Sila Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan juga
memberikan gambaran bahwa demokrasi sebagai bagian penting dalam prinsip civil
religion terkover di dalamnya.
Ketuhanan yang Maha Esa adalah sebuah pengakuan formal negara
bahwa negara ini berbasis pada agama. Memang bukan negara agama, akan tetapi
agama menjadi substansi di dalam kehidupan kenegaraan dan sosial
kemasyarakatan. Dasar filosofis seperti ini, yang sering
belum dipahami oleh banyak orang sehingga menganggap bahwa masih ada ideologi
lain yang ingin diuji cobakan di dalam kehidupan bernegara. Salah
satunya adalah ideologi agama.
Melalui kembalinya kesadaran untuk memantapkan Pancasila sebagai
ideologi negara bangsa, maka sesungguhnya ada harapan baru di tengah
pertarungan ideologi yang terus berkembang di seantero dunia, termasuk di
Indonesia.
Negara ini akan tetap menjadi besar dan bersatu manakala seluruh
komponen bangsanya menjadikan Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Oleh karena itu, menguatkan kembali Pancasila sebagai living ideology sama dengan menegaskan pondasi bangsa dan mengurangi konflik kepentingan.
Wallahu
a’lam bi al shawab.
0 komentar:
Posting Komentar