*Oleh : Prabu Ali Airlangga SHI, MH
(Direktur Rumah Belajar Pandawa)
Sebagai orangtua mereka
mempunyai kesadaran bahwa anak adalah sebuah amanah yang dititipkan Tuhan untuk
dijaga, dididik dan dirawat dengan baik. Oleh sebab itu, orang tua hendaknya
memperhatikan dengan sungguh-sungguh atas kecerdasan yang dimiliki oleh buah
hatinya.
Ada tiga hal yang
menjadi prioritas dalam konsep pendidikan, sebagaimana yang dirumuskan Benyamin
S. Bloom tentang kognitif, afektif dan psikomotor yang dikemas secara apik
dalam program life skill.
Dr. Howard Gardner,
peneliti dari Harvard, pencetus teori Multiple Intelligence mengajukan delapan
jenis kecerdasan yang meliputi Cerdas Bahasa seperti cerdas dalam mengolah
kata. Cerdas Gambar yakni memiliki
imajinasi tinggi. Cerdas Musik meliputi
peka terhadap suara dan irama. Cerdas Tubuh yakni trampil dalam mengolah tubuh
dan gerak. Cerdas Matematika dan Logika adalah cerdas dalam sains dan
berhitung. Cerdas Sosial meliputi kemampuan tinggi dalam membaca pikiran dan
perasaan orang lain, Cerdas Diri merupakan sikap menyadari kekuatan dan
kelemahan diri. Cerdas Alam termasuk
peka terhadap alam sekitar. Cerdas Spiritual maksudnya menyadari makna
eksistensi diri dalam hubungannya dengan Pencipta alam semesta.
Delapan kecerdasan atau
yang lebih dikenal istilah kecerdasan jamak
(multiple intelligences) ini merupakan pengembangan dari kecerdasan
otak, emosional dan spiritual. Kecerdasan jamak atau majemuk pada saat ada yang
menggolongkan dalam delapan jenis yaitu kecerdasan linguistik,
logika-matematika, spasial, kinestetik tubuh, musikal, interpersonal,
intrapersonal dan naturalis.
Oleh karena itu, saat
buah hati kita sedang mengekspresikan bakat dan potensinya, kita sebagai orang
tua bertanggung jawab untuk mengajarkan dan melatihkan bagaimana proses kecerdasan
itu terbentuk dengan baik.
Selama ini, yang namanya
“kecerdasan” senantiasa dikonotasikan dengan Kecerdasan Intelektual” atau yang
lazim dikenal sebagai IQ saja (Intelligence Quotient). Namun pada saat ini,
anggapan bahwa kecerdasan manusia hanya tertumpu pada dimensi intelektual saja
sudah tidak berlaku lagi. Selain IQ, manusia juga masih memiliki dimensi
kecerdasan lainnya, diantaranya yaitu
Kecerdasan Emosional atau EQ (Emotional Quotient) dan Kecerdasan Spiritual
atau SQ (Spiritual Quotient).
Pada edisi ini, kami
akan mengulas sebuah metode yang kami coba terapkan di Rumah Belajar Pandawa,
metode pendekatan ESQ Power. Pendidikan
ESQ merupakan upaya pengembangan kepribadian anak. Kebutuhan pendidikan anak tidak
sekedar menjejali dengan pengetahuan semata, tetapi juga aplikasi kemanfaatan
bagi kehidupan yang bermakna dengan mengaktualisasikan potensi diri sebaik
mungkin di tengah peradaban yang terus berkembang.
Hal ini merupakan
tanggung jawab pendidik (orang tua dan pengajar) untuk mentransformasikan
nilai-nilai kecerdasan emosional dan spiritual dengan pola asuh yang tepat
sesuai tingkat kematangan anak dengan melalui pembiasaan, keteladanan dan
penciptaan lingkungan yang kondusif sehingga menjadi manusia yang cerdas secara
emosional (EQ) yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan pengendalian
nafsu-nafsu impulsif dan agresif dan cerdas spiritualnya (SQ), yaitu kecerdasan
untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna dan nilai.
Mendidik dan mengajar
sesungguhnya bermaksud untuk memberikan pengetahuan dan kecakapan untuk hidup. Maka caranya tidak
boleh keluar dari adat istiadat kehidupan. Mari kita belajar dari tokoh
pendidikan nasional Ki Hajar Dewantoro, dari konsep pendidikan yang diajarkan
di taman siswa, patutnya menjadi inspirasi bagi Rumah Belajar Pandawa.
Patut dipahami oleh kita
semua, bahwa pola pendidikan pada generasi kita apakah masih menjadikan IQ
(Intelligence Quotient) sebagai satu-satunya tolok ukur kecerdasan yang juga
sering dijadikan parameter keberhasilan manusia. Semua orang tua berharap agar
buah hatinya bisa berhasil, tidak hanya dengan nilai baik serta mendapat juara namun dibarengin juga dengan pola yang benar.
Tak ada artinya trophy
kejuaraan berjejer di ruang tamu jika akhirnya tidak sukses hidup. Rata-rata mereka
yang berhasil bukan yang bisa menulis halus dengan tata bahasa yang benar,
tetapi mereka yang berani menyampaikan
gagasannya. Mereka yang berhasil bukan
yang IQ tinggi (otaknya jenius), tetapi
merekalah yang mempunyai kepribadian baik.
Mereka yang berhasil
dibidang politik bukan doktor ilmu sosial politik, tetapi mereka yang memiliki teman banyak dan jaringannya luas.
Jika konsep IQ (Intelligence Quotient) dijadikan patokan keberhasilan manusia
maka kami tidak sepakat dengan pendapat tersebut, sebab konsep tersebut bisa digugurkan dengan konsep Kecerdasan
Emosional atau EQ (Emotional Quotient) dan Kecerdasan Spiritual atau SQ
(Spiritual Quotient).
Tokoh pendidikan
nasional Ki Hajar Dewantoro (1908) mengemukakan tiga prinsip pembelajaran Ing
Ngarso Sung Tulodo (jadi pemimpin-guru jadilah teladan bagi siswanya), Ing
Madyo Mangun Karso (dalam pembelajaran membangun ide siswa dengan aktivitas
sehingga kompetensi siswa terbentuk), Tut Wuri Handayani (jadilah fasilitator
kegiatan siswa dalam mengembangkan life skill sehingga mereka menjadi pribadi
mandiri).
Sebelum lebih jauh,
patutnya kita memahami terlebih dahuli maksud dari ESQ (EMOSIONAL DAN SPIRITUAL
QUOTION), yang pertama saya akan menguraikan tentang makna dari kecerdasan
emosional.
Kecerdasan emosional
telah diterima dan diakui kegunaannya. Studi-studi menunjukkan bahwa seorang
eksekutif atau profesional yang secara teknik unggul dan memiliki EQ yang
tinggi adalah orang-orang yang mampu mengatasi konflik, melihat kesenjangan
yang perlu dijembatani atau diisi, melihat hubungan yang tersembunyi yang
menjanjikan peluang, berinteraksi, penuh pertimbangan untuk menghasilkan yang
lebih berharga, lebih siap, lebih cekatan, dan lebih cepat dibanding orang
lain.
Istilah kecerdasan emosi
pertama kali berasal dari konsep kecerdasan sosial yang dikemukakan oleh
Thordike pada tahun 1920 dengan membagi 3 bidang kecerdasan yaitu kecerdasan
abstrak (seperti kemampuan memahami dan memanipulasi simbol verbal dan
matematika), kecerdasan konkrit seperti kemampuan memahami dan memanipulasi
objek, dan kecerdasan sosial seperti kemampuan berhubungan dengan orang lain.
Dari penjabaran tersebut
maka dapat kita pahami bahwa kecerdasan emosional yaitu kemampuan mengenali
emosi diri, kemampuan mengelola emosi, kemampuan memotivasi diri, kemampuan
mengenali emosi orang lain dan kemampuan membina hubungan.
Kita sebagai orangtua
sejauh mana membekali buah hati kita bisa mempunyai kepekaan atau membaca
perasaan terdalam orang lain (empati), kemampuan untuk menyelesaikan konflik,
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi,
kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, semua hal tersebut
dibutuhkan pengendalian diri, semangat, dan ketekunan.
Sedangkan dalam
mengembangkan kecerdasan spiritual, kita sebagai orangtua dapat memulainya dari
lingkungan keluarga, yakni dengan cara melatih anak-anak melakukan tugas
hariannya dengan kesadaran dan dorongan motivasi dari dalam. Seorang anak
diberi kasih sayang dan tidak perlu dimanjakan karena akan mengembangkan sifat
mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kebutuhan orang lain, kikir dan
berpikiran sempit.
Sebagai orang tua, kita
harus menciptakan suasana lingkungan keluarga penuh kasih dan pengalaman saling
memaafkan. Anak perlu belajar untuk bisa menerima dan mendengarkan dengan baik,
terhadap diri sendiri maupun orang lain. Adapun beberapa hal yang perlu kita
perhatikan yaitu,
Pembiasaan. Misalnya
membiasakan anak sejak kecil untuk bangun pagi, beribadah bersama, membaca
buku-buku agama, berlaku sopan pada siapapun, berlaku jujur, perlu untuk
dibiasakan. Anak-anak kita seyogyanya kita
sadarkan bahwa mereka kelak harus mempertanggungjawabkan perbuatan
mereka di hadapan Sang Pencipta. Dengan upaya tersebut, kiat sebagai orangtua
sudah membekali nilai-nilai kecerdasan spiritual kepada anak.
Keteladanan. Keteladanan
yang diberikan orang tua dan keluarga akan memberikan dampak yang baik pada
diri pribadi anak. Tanpa keteladanan yang baik dari orang tua, pendidikan
terhadap anak tidak akan berhasil dan nasehat-nasehat tidak akan membekas.
Orang tua tidak dapat mengharapkan anak-anaknya berbuat keutamaan dan akhlak
mulia kalau orang tua juga tidak berbuat demikian.
Ada kesan yang salah
bahwa, para orang sukses bukanlah orang yang religius. Hal ini disebabkan pemberitaan
tentang para koruptor, penipu, konglomerat rakus, yang memiliki kekayaan dengan
jalan tidak halal. Karena orang-orang jahat ini 'tampak' kaya, maka sebagian
publik mendapat gambaran bahwa orang kaya adalah orang jahat dan rakus, para
penindas orang miskin. Sebenarnya sama saja, banyak orang miskin yang juga
jahat dan rakus. Jahat dan rakus tidak ada hubungan dengan kaya atau miskin.
Para orang sukses sejati
yaitu yang mendapatkan kekayaan dengan jalan halal dan berbagi terhadap sesama.
Mereka menyumbangkan hartanya di jalan amal. Mereka mendirikan rumah sakit,
panti asuhan, riset kanker, dan berbagai yayasan amal.
Kebanyakan dari mereka
menghindari publikasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa para orang sukses
sejati menyumbangkan minimal 10 persen dari pendapatan kotor untuk kegiatan
amal, bahkan saat dulu mereka masih miskin. Mereka menyadari bahwa kekayaan
mereka hanyalah titipan dari Tuhan, 'silent partner' mereka.
Akhirnya melalui
kecerdasan spiritual manusia mampu menciptakan makna untuk tujuan-tujuannya.
Hasil dari kecerdasan aspirasi yang berupa cita-cita diberi makna oleh
kecerdasan spiritual. Melalui kecerdasan spiritual pula manusia mampu tetap
bahagia dalam perjalanan menuju teraihnya cita-cita.
Kunci bahagia adalah
Kecerdasan Spiritual. Kecerdasan spiritual (SQ) berkaitan dengan masalah makna,
motivasi, dan tujuan hidup sendiri. Jika IQ berperan memberi solusi
intelektual-teknikal, EQ meratakan jalan membangun relasi sosial, SQ
mempertanyakan apakah makna, tujuan,dan filsafat hidup seseorang.
0 komentar:
Posting Komentar