Oleh :
Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si
(Dewan Pembina Rumah Belajar Pandawa)
Isu tentang
ISIS menjadi headline media akhir-akhir ini. Pemberitaan yang gencar tentang
pengiriman kaum jihadis ke Iraq atau Syria dan juga pembaiatan yang dilakukan
di beberapa daerah untuk setia kepada ISIS tentu memantik reaksi yang luar
biasa besar dari segenap elemen masyarakat.
Darai proses
perjalan hidup berbangsa dan bernegara, kita senantiasa tersadar bahwa betapa
pentingnya kita mengembangkan keberagamaan menjadi civil religion.
Memodifikasi
secara kritis konsep Bellah civil religion itu merupakan pola keberagamaan yang
harus mampu menanamkan keimanan yang kukuh bagi para penganutnya sesuai dengan
agama yang dianut.
Negara
kesatuan republik Indonesia memiliki, Pancasila dengan lima silanya. Inilah
gambaran riil tentang civil religion. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan
gambaran tentang prinsip utama di dalam civil religion.
Sila
Kemanusiaan yang adil dan beradab, demikian pula Sila Keadilan Sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia merupakan perwujudan dari konsep persaudaraan yang
didasarkan atas keadilan dan kemanusiaan.
Kemudian
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
atau Perwakilan juga memberikan gambaran bahwa demokrasi sebagai bagian penting
dalam prinsip civil religion terkaver di dalamnya. Hanya saja problemnya bahwa
cita dan idealitas yang demikian baik terkadang tereduksi oleh tindakan para
pelaku, baik rakyat maupun elitnya.
Pada masa
Orde Baru yang sesungguhnya memiliki ambisi yang sangat baik untuk menjadikan
Pancasila, sebagai pedoman dalam seluruh tindakan masyarakat Indonesia. Namun
kenyatannya itu semua tercederai oleh berbagai masalah seperti korupsi, kolusi
dan nepotisme.
Pengalaman
sejarah ini tentu harus disikapi secara arif dan bijaksana agar usaha untuk
melakukan revitalisasi Pancasila di dalam kehidupan masyarakat tidak mengalami
reduksi makna.
Ketika
negara-negara barat melepaskan agama
sebagai ideologi negara dan kemudian masuk ke negara liberal yang melepaskan
agama dari kehidupan politik kenegaraan, maka ketika Indonesia merdeka
diputuskanlah menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara yang dianggap
sebagai jalan tengah untuk mendayung di antara negara agama dan negara liberal.
Pancasila
memang bukan menegaskan sebagai negara agama dan juga bukan menegaskan sebagai
negara liberal, akan tetapi suatu ideologi yang memberikan tempat agama untuk
menjadi pedoman bagi kehidupan bernegera dan juga menjadikan negara sebagai
tempat untuk menumbuhkembangkan kehidupan beragama.
Melalui Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka ditegaskan bahwa negara ini menjadikan poros
ketuhanan sebagai titik tolak kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Pilihan
tentang Ketuhanan Yang Maha Esa sebenarnya menjelaskan bahwa negara ini
bukanlah negara sekuler yang memisahkan kehidupan negara dan masyarakatnya dari
dimensi teologis.
Ketuhanan
yang Maha Esa adalah sebuah pengakuan formal negara bahwa negara ini berbasis
pada agama. Memang bukan negara agama, akan tetapi agama menjadi substansi di
dalam kehidupan kenegaraan dan sosial kemasyarakatan.
Di dalam al-Qur’an
kata Daulah tidak disebut secara spesifik dan tidak dimaksudkan sebagai bentuk
Negara. Kata dawlah dipakai di dalam sistem pemerintahan barulah pada masa
kekhalifahan Bani Muawiyah, Abbasiyah dan seterusnya.
Kala Nabi
Muhammad saw memimpin umat Islam dan juga Khulafaur Rasyidun juga tidak
menggunakan kata daulah tersebut. Lalu, pada masa sekarang kata Daulah
Islamiyah diletakkan dalam konteks Negara Islam. Sedangkan pemimpinnya disebut sebagai
khalifah.
Dasar
filosofis seperti ini, yang sering belum dipahami oleh banyak orang sehingga
menganggap bahwa masih ada ideologi lain yang ingin diujicobakan di dalam
kehidupan bernegara. Salah satunya adalah ideologi agama, seperti hanya konsep
Negara islam dengan konsep khilafah islamiyah.
Perlu kita
sadari, di dalam proses kehidupan bernegara “tidak ada Negara Islam” sebab Nabi
Muhammad saw sendiri tidak menyatakan sebagai Daulah Islamiyah.
Nabi
Muhammad SAW memang sebagai pemimpin masyarakat Madinah akan tetapi bukan
sebagaimana bayangan orang tentang negara sebagaimana konsepsi modern mengenai
negara. Bahkan di dalam Piagam Madinah juga sama sekali tidak disebutkan
sebagai perjanjian antara Negara Islam dengan lainnya, akan tetapi adalah
perjanjian antar masyarakat sipil untuk saling memahami dan memberi toleransi
antara satu dengan yanglain, seperti itulah gambaran Islam Rahmatan lil Alamin
benar-benar terbukti.
Negara ini
akan tetap menjadi besar dan bersatu manakala seluruh komponen bangsanya
menjadikan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Oleh karena itu, menguatkan
kembali Pancasila sebagai living ideology sama dengan menegaskan pondasi bangsa
dan mengurangi konflik kepentingan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
0 komentar:
Posting Komentar