Jumlah pengunjung

Senyum Indah Mereka Adalah Anugerah

Rumah Belajar Pandawa, Rumah Bagi Mereka Yang Tidak Punya Rumah dan Tempat Belajar Bagi Mereka Yang Tak Sanggup Sekolah.

This is default featured slide 2 title

Rumah Belajar Pandawa, Rumah Bagi Mereka Yang Tidak Punya Rumah dan Tempat Belajar Bagi Mereka Yang Tak Sanggup Sekolah.

Mengabdi Pada Masyarakat

Rumah Belajar Pandawa, Rumah Bagi Mereka Yang Tidak Punya Rumah dan Tempat Belajar Bagi Mereka Yang Tak Sanggup Sekolah.

This is default featured slide 4 title

Rumah Belajar Pandawa, Rumah Bagi Mereka Yang Tidak Punya Rumah dan Tempat Belajar Bagi Mereka Yang Tak Sanggup Sekolah.

Mari Bergabung Bersama Kami

Rumah Belajar Pandawa, Rumah Bagi Mereka Yang Tidak Punya Rumah dan Tempat Belajar Bagi Mereka Yang Tak Sanggup Sekolah.

Selamat Datang di BLOG RUMAH BELAJAR PANDAWA

Senin, 07 Januari 2013

Parents Advice, In Educating Children


Adolescence adalaha future psychological development of the child to be a child who was growing up, commonly known by the transition from the extended to the children become adults. These periods usually despise teenagers imitate the style or stile admired so greatly needed in this guidance from parents to teenagers not one style that can make the order for his future.
But mostly people do not know the parents in educating their teenagers do not know what possessed her talent that her talent was terkandas the fault of the parents. By him it was following a few mistakes parents in educating their teenagers:
1. Wrong perception
Often parents instilled a false perception about yourself also in the perception of self keberhargaan their children either consciously attau not aware of its influence psychological growth of children. When parents teach a wrong perception to the child, that's when the real parents were planting mines psychological minefield that can explode at any time.
Wrong perception as if that is frequently and unwittingly parents do to their children ..? A small example, many parents who force their children to be good at everything. It is a source of pride and self keberhargaan for parents if their children have above average achievement friends other friends.
Parents often think poorly of the boys who express negative emotions, parents often ask their children not to make mistakes even by parents asking for help is wrong and shameful.
Like a time bomb, a child not only needs attention, praise and reprimands. The balance of it will make the child feel loved and be loved. But unfortunately because of busy jobs and routines many parents let their children grow up by itself so that when problems arise then the parents are busy trying to be a good parent or bijaksanana.
Busyness parents sometimes make them no time for their children, there is no time to accompany learning, even when there was no longer joking. Even sometimes forget to appreciate her achievement, only when children make mistakes, parents busy paying attention and wise ass.
2. Not Consistent
Trap is a common problem when the parents are no longer consistent in parenting. Parents have berbgai kinds of reasons to justify his inconsistency against children. Whatever the reason, the lack of variation prolem konsintenan can enlarge the behavior of their children. Then came the question of questions at me, "Which is better children grow up in a family of authoritarian or permissive ...? Actually the most important is the existence of rules that can be predicted and consistent.
3. Closed communication
Communication is the thing or the most important factor in caring for and educating their children. If children think that they can talk to their parents about their feelings and their lives, if they succeed or fail when it could and was able to communicate openly to their parents, so they would be owned and cared for. So that the children will feel meaningful to themselves also their parents.
4. Problem solver
Many children and adolescents is now a member of the generation confused, if you want to trace the background of their care, it is usually found that their parents were mostly serves as a problem solver for their children. As a result, their children had over-provided and life becomes passive. So what are the reasons parents become problem solver ..? Classic reason is parents want their children happy, the parents do not want their children to experience problems in her life.
5. There is no example
Often parents use the techniques in building and educating young children with a way to rule, ask their children to do what he says, but it is equally important example exert a very strong and positive. Children need to be an example, and not by orders. A small example, many parents hope their children smarter, then the parents instruct their children to learn any and all costs. Maybe by example and take her learning will be different, because the acceptance of child shall be felt herself diperhatiakan parents.
6. Select the time to play with the children
As an adult, sometimes parents forget how to be a child. Many parents are caught up in the bustle of day to day to make a living and pay the mortgage, but many parents forget that children also need to play. Children need to fantasize and develop their creativity. Do not borrow children with a wide range of tutoring throughout the week. His intentions are good but not necessarily the way he's right, sometimes undesirable tutoring children do not solve the problems it has created more problems for the child.
Sources http://www.duniaremaja.net

Rabu, 21 November 2012

Satu Bulan Bersama Relawan STK Widya Mandala




Hari itu hari senin pukul 18.00, desir angin yang menyibak dahan pepohonan di taman  beradu dengan raungan  knalpot kendaraan bermotor yang memadati jalan Ngagel, Wonokromo. Dibawah rindangnya pohon taman yang menghantarkan lembar-demi lembar daun kering terhempas direrumputan taman, terdapat sekumpulan bocah-boca yang sedang asik dengan beragam aktivitas belajar bersama di taman.
Diantara penerangan seadanya mereka bergerumul menghadap beberapa papan tulis dengan coretan-coretan. Mereka adalah relawan bersama murid-murid Rumah Belajar Pandawa.  Relawan yang merupakan mahasiswi  Universitas Katolik Widia Mandala atau biasa di singkat UWM yang terdiri dari Mia Dwi Retno, Aprelia Caroline, Brenda Silviani,  Fatmala Fatmawati, Yosefina Silvia Daru, Rana Keera, Novita Jalasari, Rika Kumalasari, kritina atau biasa disapa Beta.
Salah satu program yang dibawa oleh relawan ini adalah misi pendidikan pancasila, mula dari belajar kebinekaan, persatuan Indonesia, dan lain sebagainya. Mengabdi kepada masyarakat dan ikut merasakan bagaimana kehidupan sesama merupakan salah satu dari upaya mengaplikasikan sila kedua yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradap, karena diharapkan kegitan tersebut dapat menyentuh sisi humanis atau kemanusiaan kita.
“Saya tidak menyangka jika mereka begitu kuat, sekalipun mereka tak bersama orang tua mereka bahkan diantara mereka sesungguhnya tidak tahu siapa orang tua mereka sebenarnya. Jika saya yang mengalami, saya tidak tahu gimana?” ujar Rana mahasiswa asal NTT salah satu relawan yang kagum dengan semangat anak-anak rumah belajar pandawa.
“Lebih hebatnya lagi mereka tidak pernah menyalahkan keadaan, tidak menyalahkan orang tua mereka padahal saya sering ngerasa kurang dengan kasih sayang orang tuaku yang sekarang aku sadari tiada kurangnya” imbunya sambil tersenyum malu. Air mata itu meluncur deras  Sebab sebelumnya ia mendengar beberapa curhatan langsung dari anak-anak tentang latar belakang kehidupan  yang mereka jalani setiap hari.

Sedihnya Perpisahan
                “kaka jangan pergi kami tidak akan nakal lagi, kami semua akan serius belajar……” teriak tangis murid Pandawa kepada para relawan pengajar, saat mengucapkan salam perpisahan.
Tidak disangka, malam perpisahan yang  harus dijalani terasa sangat berat, akibatnya tak terasa air mata menetes dari puluhan pasang mata itu. Deraiannya merambati pipi, kilaunnya terbias cahaya lampu yang menembus rerimbunan daun dan rupanya juga telah menembus dihati mereka.
Hari-hari yang telah dialalui bersama rupanya telah menorehkan selaksa kenangan yang tak mudah dihapuskan, bahkan oleh air mata perpisahan sekalipun. Memang saat perpisahan tadi suasana sangat mengharukan, anak anak menangis para relawan juga ikut mengangis.
Maka untuk menceriakan  suasana mereka menghibur diri dengan beragam kegiatan lucu. mulai dari tari ayam “Chiken Dance” yang dilakoni oleh para murid –murid Pandawa. Hingga hiburan berupa tarian paling fenomenal saat ini “Gangnam Style”yang dipersembahkan oleh para relawan.
Akan tetapi, aura perpisahan yang mengharu biru tidak juga bias terhapuskan, bahkan oleh berisik raungan kendaraan bermotor yang merayapi jembatan Bosem wonorejo “jagir”.  “saya nggak menyangka, ketika kami bilang besok gak akan datang kesini lagi, seketika airmata meleleh di kedua belah pipi mereka”, terang Brenda yang juga menehan airmata.
“Meskipun waktunya singkat, akan tetapi begitu banyak pelajaran yang telah kami dapatkan. Di Rumah Belajar Pandawa saya mulai belajar besyukur, atas segala nikmat yang diberikan Allah, ampuni tuhan saya yang jarang bersyukur” sesal Caroline akibat kekilafannya, kini ia bias melihat ternyata banyak anak yang jauh tidak seberuntung kita. Hidup tanpa kasih sayang orang tua, menyambung  hidup dijalanan, bahkan  ada yang terbiasa melihat orang tua mereka terjebak lembah hitam pelacuran.
“Kami tak menyangka, mungkin tanpa adanya Pandawa, mereka akan menjadi 11-12 dari orang tuanya, jika orang tunya kasar dalam mendidik pasti kelak mereka akan melakukan yang sama” tambah Rana Keera. “Jadinya saya melihat rumah belajar pandawa bukan hanya member pelajaran berupa materi tapi juga pelajaran moral yang amat berharga bagi mereka kedepan” terang Mia menambahkan ungkapan Rana Keera salah satu relawan yang berasal dari Nusa Tenggara Timur.

Sebingkis Kenangan
Kini para mahasiswi Relawan dari  Universitas Widya Mandala telah purna tugasnya, tunai sudah pengabdian di Rumah Belajar Pandawa dalam membimbing anak-anak yang butuh bimbingan dan kasih sayang.  Tapi seberapa jauh mereka menghilang dari selingkar pandangan mata, tapi mereka dan jasa mereka akan selalu terbingkai dihati mereka.
“Kenapa mereka cuma ngajar sebentar, padahal aku sudah mulai sayang” keluh vista dan yola,. Sambil memegang bingkisan berupa buku dari relawan ia mengenang saat-saat beberapa jam yang mereka lalui sebelumnya.
Rupanya benar kata sebuah syair lagu yang pernah dilantunkan oleh grup band asal jogja, Letto. Bahwa “rasa kehilangan hanya akan ada jika kita pernah memilikinya”. Dan bukankah sejatinya kita saling memiliki? Memiliki rasa cinta yang sama, memiliki kasih sayang yang sama, dan memiliki Rumah Belajar Pandawa bersama.
Diahir perpisahan malam itu, ketika mereka semua bersedih , kami membisiki dan meyakinkan mereka satu hal, “kalian orang yang kuat,” kakak yakin kelak adek-adek ijka treus belajar dan berusaha dengan serius maka kalian menjadai orang yang sukses, persembahkan prestasi kalian untuk kebanggaan orang tua kita” [] Awan.



MISI Pendidikan Pancasila


     Kondisi pendidikan formal saat ini memang sangat memprihatinkan, apalagi hampir satu decade ini pendidikan pancasila direduksi dari kurikulum pendidikan anak-anak. Akibatnya anak-anak menjadi jauh dari pencasila dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Mereka hanya mengenal pancasila sebagai lafadz yang Cuma bias di katakana namun tak mampu menjelaskan apalagi mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
       Salah satu program yang dibawa oleh relawan ini adalah misi pendidikan pancasila, mula dari belajar kebinekaan, persatuan Indonesia, dan lain sebagainya. Mengabdi kepada masyarakat dan ikut merasakan bagaimana kehidupan sesama merupakan salah satu dari upaya mengaplikasikan sila kedua yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradap, karena diharapkan kegitan tersebut dapat menyentuh sisi humanis atau kemanusiaan kita.
         “Saya tidak menyangka jika mereka begitu kuat, sekalipun mereka tak bersama orang tua mereka bahkan diantara mereka sesungguhnya tidak tahu siapa orang tua mereka sebenarnya. Jika saya yang mengalami, saya tidak tahu gimana?” ujar Rana mahasiswa asal NTT salah satu relawan yang kagum dengan semangat anak-anak rumah belajar pandawa.
       “Lebih hebatnya lagi mereka tidak pernah menyalahkan keadaan, tidak menyalahkan orang tua mereka padahal saya sering ngerasa kurang dengan kasih sayang orang tuaku yang sekarang aku sadari tiada kurangnya” imbunya sambil tersenyum malu. Air mata itu meluncur deras Sebab sebelumnya ia mendengar beberapa curhatan langsung dari anak-anak tentang latar belakang kehidupan yang mereka jalani setiap hari.


Satu Bulan Bersama Relawan STK Widya Mandala
       Hari itu hari senin pukul 18.00, desir angin yang menyibak dahan pepohonan di taman beradu dengan raungan knalpot kendaraan bermotor yang memadati jalan Ngagel, Wonokromo. Dibawah rindangnya pohon taman yang menghantarkan lembar-demi lembar daun kering terhempas direrumputan taman, terdapat sekumpulan bocah-boca yang sedang asik dengan beragam aktivitas belajar bersama di taman.
       Diantara penerangan seadanya mereka bergerumul menghadap beberapa papan tulis dengan coretan-coretan. Mereka adalah relawan bersama murid-murid Rumah Belajar Pandawa. Relawan yang merupakan mahasiswi Universitas Katolik Widia Mandala atau biasa di singkat UWM yang terdiri dari Mia Dwi Retno, Aprelia Caroline, Brenda Silviani, Fatmala Fatmawati, Yosefina Silvia Daru, Rana Keera, Novita Jalasari, Rika Kumalasari, kritina atau biasa disapa Beta.
        Sebenarnya mereka menjadi relawan di Rumah Belajar Pandawa bermula dari program praktek kerja lapangan atau biasa disingkat PKL yang mengedapankan pengabdian masyarakat. “awalnya saya ngeluh saat menjalankan tugas PKL jika harus kaya gini, mana mungkin anak manja seperti saya bersosialisasi dengan anak jalanan yang berkepribadian macam ini (Liar: Red), nakal, omongannya kotor dan gitu deh” tutur Caroline yang mengaku anak manja itu. 
Mahasiswi yang berasal dari Jember itu menambahkan bahwa adiknya yang dirumah saja sering kena marah gara-gara suka mengganggunya. “Tapi dengan mengajar di Rumah Belajar Pandawa, saya jadi tahu bahwa saya bisa bersosialisasi dengan anak-anak yang karekternya bermacam-macam. 
           Selain itu juga saya juga mulai pandai bersyukur pada tuhan” Imbuh gadis semampai bermata sipit dengan meneteskan airmata keharuan saat ditanyaoleh reporter Pandawa Kalmia Sada. Bahkan ia berjanji akan lebih menyayangi orang tua yang selama ini ia acuhkan atas segala apa yang mereka berikan padanya, begitupun pada adiknya yang dianggap nakal.
(bersambung ya............)

Minggu, 18 November 2012

Motivasi Bagi Pengamens Cilik, Ingin Menjadi Guru


“Kalau saya sudah besar nanti saya ingin menjadi guru” ungkap Mawar bersemangat.
“saya juga ingin jadi guru” Tambah Melati yang tidak kalah semangatnya (Mawar, melati bukan nama sebenarnya). 
Begitulah kira–kira celoteh dua anak yang sampai saat ini masih bersama ibunya untuk mencari sesuap nasi dijalanan kota Surabaya.  Dan diruang tamu  home base Rumah Belajar Pandawa yang sempit karena dipenuhi banyak anak yang ingin belajar. Diantara sekian banyak murid-murid yang menjadi dampingan kami, adalah Mawar dan Melati merka adalah anak kurang mampu itu.
Sepasang kakak adik yang terlambat sekolah karena harus membantu ibunya untuk mengemis tiap hari. Meskipun sekarang umurnya sudah menginjak kelas satu SD, namun karena tuntutan ekonomi ia baru sekolah di kelas TK tahun ini. Itupun karena ada yang memotivasi untuk sekolah, disamping itu merka berdua masih mempunyai semangat untuk mengapai masadepanya.
“Meskipun terlambat sekolah, namun mawar dan melati mempunyai kecerdasan yang harus terus dikembagkan. Mungkin karena ia memang sini kuasa tuhan ya”, tutur Khotijah yang dengan telaten membimbing dua anak itu belajar membaca dan berhitung. 
Di sampingnya juga tampak papan tulis putih penuh guratan spidol yang berisi angka-angka penjumlahan.  Ia tampak sabar memberi  rayuan dan motivasi agar Mawar dan Melati selalu rajin belajar agar bisa tercapai cita-cita keduanya.

Hari-Hari Seniman Kecil Jalanan
Mawar dan Melati adalah sepasang kakak adik. Mawar yang lebih tua berumur  tujuh  tahun, sedang Melati adiknya berumur enam tahun. Meski berbeda umur namun ia menuntut ilmu di jenjang yang sama, dan lebih mengherankannya lagi keduanya baru duduk di bangku Taman Kanak-Kanak.
Mereka masih sekolah di bangku TK bukan karena mereka tinggal kelas. Namun karena mereka baru saja mengenal dunia pendidikan, sejak adanya lembaga Rumah Belajar Pandawa.
Alasan mengapa mereka baru bersekolah cukup miris. Ditengah modernnya dunia pendidikan dengan fasilitas memedai serta jargon pendidikan gratis, Mawar dan Melati masih sibuk  dan ngamen usia sekolah. Akibatnya seperti diatas ia terlambat sekolah.
Memang, sebelum bersekolah sepasang kakak berdaik yang tinggal di gubuk semi permanen yang satu atap dengan gudang sampah dan berhalaman rel kereta api itu menghabiskan sepanjang harinya di jalanan untuk mengemis bersama ibunya. Ia berangkat pagi dan pulang pukul Sembilan malam.
“Saya pernah bertemu kedua anak itu, bersama ibunya mengais risky smpai tengah malam di angkringan PKL sepanjang trotoar Universitas Airlangga” tutur salah seorang relawan baru pada kru kalimasada.
Dan ketika Mawar dan Melati ditanya kemana saja mengemis selama ini, rupanya dia belum bisa mendiskripsikan dimana saja ia mengemis. Didaerah mana ia belum paham karena ia Cuma berjalan bersama ibunya, berjalan kemana saja terserah ibunya.

Mereka Cuma ikut saja.
“Ndak ngerti mas…! Pokoe melu mak… “ ujar Melati sambil tersipu-sipu malu karena memang sebenarnya dia malu jika diejek temen-teman sekolahnyakarena pekerjannya. Apalagi jika ditanya pekerjaan orang tuanya oleh guru, mahu tak mau mereka harus menahan malu karena teman-teman mereka menimpali dengan serempak “Mengemis, nagamen”.
Maka dari itu ia tidak mau sekolah TK hingga bertahun-tahun. Namun dengan kehadiran Rumah belajar Pandawa mereka jadi termotivasi untuk belajar. Mereka jadi tahu belajar itu ternyata menyenangkan, dan tidak membosankan seperti yang menghantui benaknya bertahun lamanya.
“Seneng mas… iso ketemu teman dan belajar bersama” tambah Mawar ketika ditanya bagaimana persaan di belajar di Rumah Belajar Pandawa.

Motivasi untuk Rajin Belajar
Pada bulan Oktober  dan November Rumah Belajar Pandawa kedatangan Relawan tak tetap dari Universitas Katolik Widia Mandala atau biasa di singkat UWM. Relawan yang terdiri dari sembilan mahasiswi semester satu mereka meluangkan waktu kuliyahnya guna turut mengejar bersama di taman setiap hari Senin malam.
Kedatangan para mahasiswi tersebut, memberi  warna tersendiri di hati anak didik Rumah Belajar Pandawa. Bahkan dampaknya membuat mereka makin mengenal banyak guru dari berbagai latar belakang.
Jika biasanya guru mereka di dominasi mahasiswa IAIN yang berlatar belakang pendidikan Islam, Humaniora Islam dan social Islam yang bersuku Jawa. kini dengan kehadiran mahasiswi UWM mereka bisa mengenal  guru-guru dari latar belakang lain, latar belakang farmasi dan dan bahasa inggris member warna tersendiri bagi anak didik. Keberagaman etnis yang dibawa mulai dari Jawa, Madura, Batak, Timor hingga keturunan Hokkian tiong Hoa membuat anak-anak mengenal keberagaman dan menghargainya sebagai wujud kebenekaan.
“Saya bersyukur diberikan kesempatan untuk mengajar disini, karena dibanding dengan mahasiswa yang mendapat tugas mengajar di tempat lain, ternyata disinilah yang paling menantang dan tepat sasaran” tutur Mia, salah satu mahasiswa UWM yang oleh teman-temannya didaulat sebagai juru bicara.
“Disini itu pokoknya apa adanya dan tidak dibuat-buat, sehingga tidak heran jika para anak didik menjadi berprestasi baik disekolah maupun  di luar sekolah” Tambah Carolina penuh semangat.
Menurut ketua rumah Belajar Pandawa Ali Airlangga, kehadiran  para relawan diharapakan mampu memberi inspirasi bagi anak didik Rumah Belajar Pandawa sehingga mereka jadi lebih bersemangat untuk belajar untuk mewujudkan cita-citanya.